Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidya_ Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Berani Jadi Petani Milenial?

22 Mei 2019   19:54 Diperbarui: 22 Mei 2019   20:04 3976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani Milenial [Ilustrasi: EasternPeak]

Dalam beberapa dekade terakhir, dikutip dari EasternPeak, transformasi teknologi pertanian melaju pesat. Dengan berbekal gawai dan aplikasi pertanian cerdas, petani dapat mengontrol tanaman dan ternaknya dengan lebih baik. Proses pemeliharaan ternak dan tanaman makin mudah. Hasilnya pun bisa diprediksi.

Silakan tilik infografis berikut.

Petani Milenial dan Revolusi Industri 4.0 [Dokpri]
Petani Milenial dan Revolusi Industri 4.0 [Dokpri]
Keberadaan agriculture technology (agtech), teknologi digital untuk pertanian cerdas, inilah yang menjadi celah bagi anak-anak milenial. Jika si ayah hanya bisa mengendalikan bajak dan sapi, si anak niscaya bisa mengendalikan traktor virtual. Jika sang bapak harus menyemprot sendiri, sang anak mengendalikan drone untuk penyemprotan.

Mengapa harus anak milenial? Baik, mari kita kupas tuntas alasannya.

Satu: Membaca data. Data yang dikumpulkan oleh sensor harus dibaca dan ditelaah. Kualitas tanah, misalnya, penting guna menentukan tanaman pilihan. Kondisi cuaca, misalnya, perlu untuk mengantisipasi gagal panen. Data-data tersebut lebih mudah dibaca oleh petani generasi milenial dibanding petani generasi X. O ya, data sangat penting bagi pertanian presisi.

Dua: Mengontrol kualitas. Kinerja staf, efisiensi peralatan, kemajuan pertumbuhan tanaman, atau kesehatan ternak, semuanya dapat dikontrol lewat gawai dan aplikasi pertanian cerdas. Petani yang "gagap teknologi" akan "gegar informasi" akan keteteran. Padahal, kontrol kualitas amat penting dalam menurunkan risiko produksi.

Ketiga: Menata produksi. Berkat sensor IoT, petani dapat memperkirakan hasil dan kualitas produksi, serta merencanakan distribusi produk. Petani akan tahu persis berapa banyak hasil yang akan dipanen, termasuk kualitas dan kuantitasnya.

Keempat: Mengelola gawai. Dengan otomatisasi proses maka efisiensi bisnis pertanian akan meningkat. Masalahnya, otomatisasi proses dilakukan melalui gawai. Lewat perangkat gawai pintar, petani dapat mengotomatisasi proses di seluruh siklus produksi. Sebut contoh irigasi, pemupukan, atau pengendalian hama.

Keempat hal di atas memastikan pentingnya keberadaan petani milenial. Jika gengsi yang membuat pemuda enggan menjadi petani, cobalah lirik agtech. Jika kotor yang ditakuti remaja sehingga malas bertani, selamilah bertani dalam ruangan (indoor farming).

Sumber: digitaltrends
Sumber: digitaltrends
Taufik sudah membuktikan bahwa hasil akhir tidak bertumpu pada gengsi, tetapi pada seberapa telaten kita dalam melakoni sesuatu. Aplikasi pertanian cerdas yang dikelola oleh perusahaan rintisan (start-up) lokal sudah bertebaran di internet. Tinggal niat dan hasrat.

Tentu berat bagi Pemerintah untuk mendongkrak keahlian petani dalam waktu yang singkat. Ada celah (gap) lebar antara kemampuan petani berinternet dan kemajuan agtech. Maka dari itu, generasi milenial mesti dirangsang sedemikian rupa supaya berminat menggeluti pertanian cerdas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun