Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidya_ Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Katakan Sayonara pada Kendaraan Pribadi

29 April 2019   12:35 Diperbarui: 30 April 2019   10:26 1250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pngdownload.id [Dokumentasi pribadi]

Pertama, merasa ngeri. Tidak sedikit orang yang takut naik mikrolet atau minibus, seperti Kopaja atau Metromini, karena sopirnya sering ugal-ugalan. Sebut saja menurunkan penumpang di tengah jalan, balapan di jalan demi mengejar setoran, atau beringas saat mengemudi. Jadi, ada faktor pemicu dari pihak pengemudi sehingga banyak orang malas menggunakan angkot atau minibus. Belum lagi merasa ngeri telat tiba di tempat kerja.

Kedua, merasa gengsi. Kalangan eksekutif, sebut saja direktur atau manajer, kebanyakan malas memakai transportasi massal. Sebut saja naik Komuter. Sekalipun Komuter tepat waktu dan aman dari ancaman macet (kecuali ada masalah insidental), desak-desakan penumpang jadi kilah untuk berkelit. 

Parfum bisa-bisa menguap akibat dibalur keringat sendiri dan bercampur dengan aroma peluh penumpang lain. Dorong-mendorong di gerbong juga dapat menggerus daya tahan tubuh sehingga letih duluan ketika tiba di tempat kerja.

Ketiga, merasa lelah. Ketika penumpang sedang padat-padatnya, berdiri mengantre di loket bagi yang tidak mempunyai kartu multirip, misalnya, adalah siksaan batin tersendiri. Belum lagi berjalan di ratangga stasiun, menunggu kereta tiba, hingga berdiri di dalam gerbong. Aneka rupa "siksaan batin" itulah yang dihindari banyak orang. 

Bagi yang tengah berangkat ke tempat kerja, siksaan tersebut dapat memengaruhi mood atau perasaan. Bagi yang sedang pulang ke rumah setelah bekerja, siksaan itu sungguh melelahkan dan memayahkan. Belum lagi kalau stasiun akhir jauh dari tempat tujuan sehingga harus pindah moda transportasi lagi.

Cukup dengan tiga alasan itu saja sudah menggambarkan mengapa banyak orang yang malas menggunakan transportasi massal. Tentu saja ketiga alasan tersebut bisa diantisipasi oleh pemangku kebijakan. 

Barangkali pihak LRT Jakarta dapat menyediakan kereta khusus eksekutif, misalnya, sehingga kalangan eksekutif mau menggunakan LRT. Jikalau mereka tetap malas naik transportasi massal, kendaraan pribadi akan tetap berseliweran memenuhi jalan raya. Kalaupun mereka tidak naik kendaraan pribadi, mereka pasti menggunakan kendaraan sewaan personal.

Jika sudah demikian, satu mobil dengan satu penumpang tetap akan memenuhi Jakarta.

Mengapa Kita Mestinya Enggan Naik Kendaraan Pribadi?
Tidak dapat dimungkiri, memiliki kendaraan pribadi pada saat ini bukanlah sesuatu yang rumit atau sulit. Tetangga saya, sekadar contoh, punya tiga mobil dan lima sepeda motor. Garasinya sempit, hanya cukup buat satu mobil dan sepeda motor. 

Dua mobil lainnya diparkir di tepi jalan di depan rumahnya. Ini sudah kebangetan. Garasi sempit, tetapi menumpuk kendaraan pribadi. Ruas jalan di perumahan dengan luas tak seberapa dan merupakan hak khalayak, akhirnya dikangkangi gengsi si pemilik kendaraan.

Soal parkir yang mengambil ruas jalan itu sekadar satu contoh penyebab macet. Belum lagi jika tetangga saya berangkat kerja. Suami, istri, dan anaknya menggunakan mobil yang berbeda. Padahal, mereka bekerja di kawasan yang berdekatan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun