Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidya_ Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Doel Sumbang dan Panggung Ripuh Tembang Sunda

30 Januari 2019   19:37 Diperbarui: 31 Januari 2019   21:29 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Doel Sumbang (Foto: Kompas.com)

Tanpa kita sadari, rasa segan berbahasa daerah karena takut dituding norak, kampungan, atau ketinggalan zaman justru merupakan ancaman bagi keselamatan bahasa daerah. Lambat laun, sikap malu berbahasa daerah dapat menggerus jumlah penutur. Akibatnya, jumlah penutur akan berkurang sedikit-sedikit hingga lama-lama menjadi banyak.

Jika bertumpu pada kriteria Unesco (2003), bahasa dinilai berdasarkan daya hidupnya. Jika penuturnya sudah tiada, berarti suatu bahasa dinyatakan punah. Pada 2009, Unesco mencatat sekitar 2.500 bahasa di dunia terancam punah--termasuk 100 bahasa daerah di Indonesia. Bahkan dalam rentang 30 tahun terakhir sudah 200 bahasa yang tamat riwayatnya, termasuk 13 bahasa daerah di Maluku dan Papua.

Berdasarkan persebaran bahasa daerah per provinsi, Badan Bahasa menyatakan bahwa jumlah bahasa daerah di Indonesia mencapai 733. Hanya saja, hingga Oktober 2017 baru 652 yang telah diidentifikasi dan divalidasi dari 2.452 wilayah pengamatan.

Bagaimana dengan respons penutur bahasa Sunda terhadap bahasa ibunya? Di kota-kota besar, hasrat memakai bahasa Sunda mulai menyusut di kalangan umat milenial. Jangankan bahasa Sunda, bahasa Indonesia saja dicampuradukkan dengan bahasa asing.

Bahkan semangat berbahasa Sunda juga mulai menyusut di kalangan kaum muda di pinggiran kota. Lambat laun akan merembet atau merembes ke perdesaan atau perkampungan. Jika generasi kiwari (terutama yang berusia 27 tahun ke bawah) sudah enggan berbahasa Sunda, isyarat takdir bahasa Sunda mendekati sekarat tinggal menunggu waktu.

Tahapannya jelas. Mula-mula memasuki fase bahasa daerah yang rentan atau tidak aman, kemudian sekarat atau kritis, kemudian meninggal atau punah. Memang sekarang bahasa Sunda masih tergolong aman, tetapi apakah respons umat milenial menjamin rasa aman itu? Saya pikir, tidak.

Doel Sumbang dan Gairah Merawat Bahasa Sunda

Pada 3 Januari 2013, seperti dilansir oleh Viva.co.id, Doel Sumbang berteriak lantang mengenai upaya pelestarian bahasa Sunda. "Saya akan terus mengarang lagu Sunda, tidak peduli laku atau tidak. Saya berkarya bukan untuk mencari untung belaka. Saya terus berkarya karena saya tidak ingin bahasa Sunda punah," laung penyanyi bernama Abdoel Wahyu Affandi dengan lantang.

Apa pasal sehingga Doel Sumbang bercakap demikian? Pelantun puluhan, bahkan ratusan, lagu Sunda tersebut membaca kemungkinan dan menebalkan kekhawatiran. Jika tidak dirawat, dijaga, atau dilestarikan, bukan hal mustahil bahasa Sunda menyusul kerabatnya yang telah tiada.

Sekarang coba berbesar hati melihat fakta. Peserta gelaran kegiatan pelestarian bahasa daerah, termasuk bahasa Sunda, biasanya barinbun (barisan insan beruban) atau japarsuh (jajaran para sesepuh). Generasi zaman kiwari? Mereka sibuk dengan dunia digitalnya.

Coba tanya pula anak milenial di sekitar kita. Apakah mereka mengenal lagu-lagu Kang Darso? Kenalkah mereka pada sosok Kang Nano sang penggubah Kalangkang? Kalau mau lebih spesifik, tanya pula arti endag---kata yang disematkan Kang Doel dalam lirik Ai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun