Saat itulah saya percaya bahwa aktivitas membaca sangat dipengaruhi oleh selera.Â
Yang semula kita benci mungkin satu ketika akan kita sukai. Yang sebelumnya kita sukai bisa saja suatu saat akan kita benci. Kita mesti menyadari bahwa selera itu musiman. Sekarang musim durian, besok-besok musim rambutan. Kecuali selera saya. Selalu sama. Alasan saya sepele: selera memang tidak dapat saya ceraikan dari rasa cinta.
Mirip-mirip dengan model pakaian. Tiap-tiap kepala punya pikiran sendiri-sendiri atas model yang diinginkannya. Ada yang suka pakaian ketat, ada yang gemar bergaun longgar, dan ada pula yang suka memakai pakaian berumbai-rumbai. Itulah selera.
Dalam perkara makanan juga begitu. Mungkin sepasang saudara kembar sama-sama suka mi ayam, tetapi ada saja yang berbeda dari mereka. Mungkin tingkat pedasnya tidak sama, yang satu suka mi ayam kering, yang satu lagi senang mi ayam berkuah. Itulah selera.
Perbedaan selera mestinya kita syukuri. Kalau perlu kita rayakan. Ketika adik bontot saya mulai rajin membaca novel-novel populer, saya tidak mengejeknya. Apalagi sampai berceramah panjang lebar tentang mutu, kualitas, atau muatan pesan dalam novel-novel demikian.
Lambat laun adik saya mulai menyukai novel karangan Christopher Paolini yang tebalnya na'udzu billah. Saya berharap adik saya menamatkan tetralogi Bumi Manusia sesudah ia rampungkan tetralogi Eragon. Selanjutnya, saya teringat remaja yang sempat viral di media sosial karena tidak mengenal Pramoedya Ananta Toer. Sempat terlintas pula ingatan pada teman saya yang meremehkan selera baca orang lain.
Ingatan saya berakhir pada keluhan banyak orang atas minat baca orang Indonesia. Banyak di antara kita yang cenderung apatis. Anehnya, ketika ada orang yang semangatnya menggelora untuk membaca malah ditertawai hanya karena selera bacanya berbeda.
Masih dalam suasana peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia yang tercinta ini, mestinya kita berhenti menjajah selera orang lain. Maksud saya, biarkan orang lain merdeka dalam memilih apa yang ingin mereka tulis atau mereka baca. Selagi apa yang mereka tulis atau baca itu berfaedah bagi kehidupan mereka, biarkan saja. Sederhana, kan?
Serahkan saja urusan selera dan perkara memilih jenis tulisan atau bacaan pada pribadi masing-masing. Kalaupun kita begitu "gatal" ingin turut campur, cukup beri pertimbangan tulisan atau bacaan supaya wawasan mereka makin kaya. Mereka mau membaca yang serius-serius atau yang ringan-ringan, biarkan saja. Yang penting mereka "serius membaca". Itu saja!
Jangan sampai kita merasa bahwa selera kita lebih bagus daripada selera orang lain. Termasuk dalam hal tulisan atau bacaan. Kita harus ingat bahwa "kemerdekaan memilih jenis tulisan atau bacaan adalah hak setiap orang".
Amel Widya