Mohon tunggu...
Amelia Rahima Sari
Amelia Rahima Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Antropologi Universitas Airlangga

Suka mencari tahu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menggali Suara dari Relief-relief Borobudur

15 Mei 2021   09:02 Diperbarui: 15 Mei 2021   09:14 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kolonialisme di bumi pertiwi memang telah sirna, namun siapa sangka ia hadir dalam bentuk baru atau yang bisa disebut neo-kolonialisme. Neo-kolonialisme tampak jelas ketika misalnya kita melihat segerombolan remaja study tour meminta foto bareng dengan bule karena anggapan fisik bule tersebut lebih "cakep", atau ketika kita membeli produk luar negeri yang lebih mahal (padahal ada produk lokal yang murah dengan kualitas sama) karena anggapan bahwa produk luar negeri lebih bagus.

Anggapan bahwa orang bule atau produk luar negeri lebih bagus hanyalah salah dua dari sekian banyak contoh neo-kolonialisme. Contoh lainnya lagi, ketika tidak ada kebanggaan sebagai Bangsa Indonesia, ketika kita mengagung-agungkan budaya luar dan justru memandang sebelah mata budaya sendiri. Padahal, Indonesia adalah bangsa yang besar dengan jutaan budaya yang berasal dari ujung ke ujung, dari Sabang hingga Merauke.  

Keanekaragaman budaya inilah yang kerap dipromosikan dalam iklan pariwisata dengan tagline Wonderful Indonesia. Keanekaragaman budaya Indonesia memang bukan isapan jempol belaka, coba saja hitung berapa banyak kuliner, alat musik, rumah adat, atau tarian di Indonesia. Percayalah, niscaya jari kalian tak akan cukup menghitungnya.

Jadi, premis keanekaragaman budaya di Indonesia sudah terbukti ya. Lalu bagaimana dengan premis bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar? Bukti bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar tentu dapat kita lihat pada peninggalannya, Borobudur misalnya. Dari Borobudur, terutama melalui relief-reliefnya, kita dapat menemukan betapa majunya peradaban nenek moyang kita.

Sekilas tentang Borobudur

Siapa sih yang tak kenal dengan Borobudur? Candi Budha terbesar di dunia ini memiliki luas 8.123 h yang berdiri di atas Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Didirikan oleh Samaratungga dari Dinasti Syailendra, Borobudur diperkirakan dibangun antara tahun 780-840 M. Sempat terkubur sekian lama, Borobudur baru ditemukan pada tahun 1814 ketika pasukan Inggris di bawah pimpinan Sir Thomas Stamford Raffles menduduki wilayah Belanda.

Pasca Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1955, Pemerintah Indonesia meminta bantuan kepada UNESCO untuk mengatasi kebutuhan penyelamatan Borobudur. Namun baru pada tahun 1960, Borobudur dinyatakan dalam keadaan darurat dan UNESCO lebih dilibatkan dalam upaya pelestarian candi ini. Tercatat Borobudur sudah mengalami dua kali pemugaran, yaitu pemugaran pertama pada tahun 1907-1911 yang dibiayai oleh Pemerintah Hindia Belanda  dan pemugaran kedua pada tahun 1973-1983 yang didanai Pelita dan UNESCO.

Bangunan dan Relief Borobudur

Candi Borobudur didesain serupa mandala yang dalam agama Budha mencerminkan alam semesta. Dengan struktur bangunan yang berbentuk kotak, candi ini memiliki empat pintu masuk dan titik pusat berupa lingkaran. Apabila ditengok dari luar ke dalam, maka Borobudur terbagi menjadi dua bagian, yakni alam dunia (terbagi lagi menjadi tiga zona) dan alam nirwana sebagai pusat.

Alam dunia terbagi menjadi kamadhatu (bagian kaki candi), rupadhatu (bagian badan candi), dan arupadhatu (bagian kepala candi). Kamadhatu mengibaratkan alam dunia yang terlihat dan dialami manusia. Sementara itu, rupadhatu mengibaratkan alam peralihan di mana manusia telah dibebaskan dari urusan dunia. Sedangkan Arupadhatu menggambarkan alam tertinggi atau rumah tuhan.

Di tiap dinding candi Borobudur dapat ditemukan relief beraneka bentuk. Relief-relief ini tentu tidak asal dipahat, melainkan menghadirkan kepercayaan dan atau realitas sosio-kultural pada saat itu. Borobudur memiliki total 1.460 panil relief cerita yang tersusun dalam 11 deretan mengitari bangunan candi dan relief dekoratif yang berjumlah 1.212 panil. 

Dari ribuan relief tersebut, lebih dari 200 relief yang berada di 40 panil, menyajikan lebih dari 40 jenis alat musik, dari alat musik petik, pukul, tiup, dan membran. Alat musik ini dapat ditemukan di berbagai daerah di Nusantara maupun di berbagai negara di dunia. Tak salah jika pada masa kejayaan Dinasti Syailendra, candi yang satu ini disinyalir sebagai pusat musik dunia dan karenanya berjuluk Borobudur pusat musik dunia.

Hal inilah yang melatarbelakangi didirikannya Sound of Borobudur, sebuah gerakan yang berupaya untuk menginterpretasi alat musik dalam relief Borobudur dan merekonstuksikannya kembali.

Apa sih Sound of Borobudur itu?

Penampilan live Sound of Borobudur dalam Seminar dan Lokakarya Online "Borobudur Pusat Musik Dunia" pada 8 April 2021.

 Sound of Borobudur dicetuskan ketika pertengahan Oktober 2016 dalam rangkaian kegiatan Borobudur Cultural Feast. Ketika itu tim Jaringan Kampung (Japung) Nusantara sedang mendiskusikan karya Kassian Cephas tentang relief Karmawibhangga yang terlihat cukup jelas bentuknya.

Hasil penemuan pertama mereka adalah tiga alat musik dawai yang diinterpretasi dari relief Karmawibhangga nomor 102, 125, dan 151. Ketiga dawai ini pertama kali ditampilkan pada acara Sonjo Kampung.

Kegiatan ekspolorasi tak berhenti sampai di situ, Sound of Borobudur tetap melakukan eksplorasi pada relief-relief Borobudur yang menampakkan berbagai bentuk alat musik. Hingga akhirnya mereka dapat tampil dengan formasi 8 musisi pada acara Explore Borobudur yang dihadiri Menteri BUMN, Rini Mariani Soemarno. Mereka pun tampil kembali, masih dengan formasi 8 musisi, pada acara Borobudur International Festival 2017.

Berbagai eksplorasi dan riset tak henti-henti dilakukan mulai dari tahun 2017 hingga 2019. Kini, Sound of Borobudur telah berhasil merekonstruksi 18 alat musik dawai yang terbuat dari kayu, lima alat musik dari gerabah, serta sebuah alat musik idiophone yang terbuat dari besi. Bahkan Sound of Borobudur telah berkembang dan menjelma menjadi sebuah orkestra.

Merefleksikan Borobudur

Sungguh Borobudur bukanlah sekedar bongkahan batu, ia juga bukan sekadar tempat ibadah, namun ia adalah perpustakaan. Di dindingnya terpahat pengetahuan dari berbagai rumpun ilmu, termasuk seni musik. Berbagai alat musik atau instrumen yang terpahat di dindingnya menunjukkan kekayaan budaya dan kemajuan peradaban.

Harusnya hal ini membuat kita bangga dengan nenek moyang kita yang mampu mencipta Borobudur yang sedemikian brilian. Borobudur adalah potret kemajuan peradaban masa lampau yang kudunya dibanggakan dan dilestarikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun