Saya adalah seorang guru. Sebuah profesi yang sering kali menempatkan saya pada persimpangan antara harapan idealis dan kenyataan yang kadang terasa begitu berbeda. Saya sering berpikir, di tengah tuntutan siap hadapi tantangan abad 21 yang serba canggih dengan segala keterampilan berpikir kritis, kolaborasi, dan literasi digitalnya, pendidikan macam apa yang sesungguhnya murid butuhkan? Ternyata jawabannya tidak saya temukan di buku-buku teori yang tebal ataupun seminar-seminar yang mahal. Jawaban itu datang dari riak-riak kecil di kelas, dari tatapan mata murid-murid saya, dari keheningan yang menyiratkan lebih banyak cerita daripada kata-kata.
Kalau saya mengenang kembali perjalanan saya mengajar dan menjadi wali kelas, ada beberapa wajah yang saya ingat. Salah satunya Gita, seorang average student. Tidak nakal, tidak terlalu pintar tapi juga tidak bodoh dan juga tidak bermasalah di kelas. Orangnya ceria, namun ternyata ada luka batin yang menganga pada dirinya. Saya memberanikan diri mendekatinya, bertanya pelan-pelan agar tidak membuatnya merasa dihakimi. Dari situlah mengalir cerita lirihnya. Orang tuanya sudah berpisah dan hidup dengan keluarga masing-masing, meninggalkannya hidup bersama kakek dan nenek yang sudah renta. Tak ada yang menemaninya mengerjakan PR dan tak ada yang bertanya bagaimana harinya di sekolah. Ia merasa tak ada yang peduli dengan perjuangannya di sekolah. Dari Gita, saya belajar: tidak semua anak datang ke sekolah dalam keadaan siap belajar, terkadang ada yang datang dengan luka batin dan kekosongan. Mereka hanya butuh seseorang yang bisa memicu potensinya.
Lain halnya dengan Ehan. Ia datang dari keluarga yang sangat berada. Demi pendidikan yang lebih baik, orang tuanya membelikan Ehan rumah dan mobil di kota, sementara mereka sendiri mengurus usaha walet di kampung. harapannya, Ehan akan lebih fokus belajar karena sudah ada rumah sendiri dan mobil untuk menuju ke sekolah. Tapi jauh panggang dari api. Mobil yang harusnya dibawa ke sekolah lebih sering membawa Ehan keliling kota untuk pacaran, dan rumahnya menjadi tempat nongkrong teman-temannya hingga larut malam tanpa ada yang mengawasi. Akibatnya, ia sering tidak masuk sekolah karena bangun kesiangan. Rupanya, Ehan adalah tipe anak yang harus disentuh langsung untuk dibangunkan. Tapi, siapa yang akan menyentuhnya jika orang tuanya jauh? Dari Ehan saya belajar: Fasilitas, bukanlah pengganti kehadiran orang tua. Anak tidak hanya butuh uang, mereka butuh arah, perhatian, dan batasan yang jelas dari orang tuanya.
Ada pula Rido, yang awalnya murid biasa saja. Tidak terlalu menonjol, tapi juga tidak pernah berulah. Sampai suatu hari, dunia seolah berhenti berputar ketika saya tak sengaja melihat unggahan Instagramnya: sebuah video joget bersama di kamar hotel bersama perempuan yang usianya jauh lebih tua darinya. Keesokan harinya, ia tidak masuk sekolah. Di hari lain saya memanggilnya, ia mengelak dan tak mengakui. Kebohongan demi kebohongan dibuatnya berulang kali. Sampai saya mengajaknya ngomong dari hati ke hati. Ia mengaku telah terjerumus ke dunia malam---klub, alkohol, dan pergaulan bebas. Ia merasa bebas karena tidak ada yang mengawasi. Saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Rido. Bagaimana mungkin kita menuntut seorang anak untuk berjalan lurus di jalan yang gelap tanpa memberinya pelita?
Kasus yang paling membuat saya merenung adalah Bila. Di permukaan, ia adalah murid yang sempurna. Nilainya selalu tinggi, aktif di berbagai kegiatan, dan senyumnya selalu terkembang. Namun di balik topeng keceriaan itu, ia menyimpan luka. Orang tuanya bercerai, dan ibunya menuntutnya untuk berprestasi. Bila tertekan. Ia mulai mengalami depresi, sering menangis, berhalusinasi dan menulis puisi-puisi kelam tentang kematian. Saya baru mengetahui semua ini setelah seorang sahabatnya memberitahu. Dari Bila, saya tersadar, berapa banyak anak yang kita puji prestasinya, namun kita abai pada luka batinnya?
Dari pengalaman-pengalaman itulah saya menemukan jawaban yang selama ini saya cari. Pendidikan bermutu tidak bisa berdiri sendiri. Guru tidak bisa bekerja sendirian. Orang tua tidak bisa sekadar lepas tangan setelah membayar SPP. Ini sekolah, Ma, bukan Laundry yang memasukkan baju kotor dan keluar terima bersih. Anak-anak tidak bisa dibiarkan bertarung sendirian dengan masalahnya. Sinergi. Itulah kata kuncinya. Komunikasi yang tulus antara guru, orang tua, dan murid.
Maka, saya memberanikan diri memulai kelas kolaborasi dengan orang tua. Setiap bulan, ada saja orang tua yang saya undang ke sekolah, bukan untuk mengambil rapor, melainkan untuk berdiskusi tentang emosi, kebiasaan, dan tantangan yang dihadapi anak-anak mereka. Perlahan, saya melihat perubahan. Gita mulai tersenyum lagi. Ehan mulai lebih rajin setelah orang tuanya menitipkan ia pada seorang kerabat di dekat rumahnya. Ayah Rido mulai meluangkan waktu untuk berbicara dari hati ke hati dengan putranya. Dan ibu Bila belajar untuk memeluk putrinya, bukan hanya menuntut prestasinya.
Kini, pengalaman dalam mengajar setelah lebih dari 20 tahun membawa saya semakin yakin, bahwa pendidikan bermutu bukan hanya soal fasilitas canggih atau kurikulum berstandar internasional. Pendidikan, pada intinya, adalah tentang cinta, kehadiran, dan sinergi. Anak-anak tidak akan bisa menaklukkan tantangan global jika fondasi mereka di rumah dan di sekolah rapuh.
Saya tidak ingin menjadi guru yang hanya hadir mengajar di depan kelas. Saya ingin menjadi guru yang juga hadir di hati murid-murid saya. Dan saya berharap, setiap orang tua juga ingin menjadi orang tua yang hadir dalam setiap langkah kehidupannya anak-anaknya. Karena ketika guru, murid, dan orang tua berjalan beriringan, pendidikan bermutu bukan lagi sekadar mimpi tetapi kenyataan yang bisa diraih.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI