Mohon tunggu...
ambuga lamawuran
ambuga lamawuran Mohon Tunggu... Jurnalis - Pengarang

Menulis novel Rumah Lipatan, novel Ilalang Tanah Gersang dan antologi cerpen Perzinahan di Rumah Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Fiksi yang Membangkitkan Perasaan dan Menjadi Milik Pembaca

24 Mei 2019   20:26 Diperbarui: 24 Mei 2019   20:40 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
swaratimor.com/Buku antologi cerpen Perzinahan di Rumah Tuhan karya Kopong Bunga Lamawuran

Catatan Kopong Bunga Lamawuran

Membaca karya fiksi kadang menumbuhkan perasaan-perasaan tertentu. Dengan alur yang diatur, latar yang pilih, tema yang diseleksi, tokoh dan penokohan yang dibentuk, tidak menutup kemungkinan kita akan menangis. Kita bisa menangis, demikianlah yang kadang terjadi, walau kita tahu bahwa cerita fiksi itu dipintal sesuai keinginan pengarang.

Kadangkala, karena terlalu tenggelam menyelami sebuah cerita, saya malah merasa bahwa apa yang ditulis oleh pengarang -- yang tidak pernah saya lihat raut wajahnya itu -- adalah salinan dari kehidupan saya sendiri. Mungkin karena mendekatkan dunia dan membangkitkan emosional kita itulah, novel maupun cerpen sering membuat banyak orang menangis.

Usai atau sedang membaca sebuah cerita, saya pun kadang menangis, sebuah tindakan yang menurut beberapa lelaki adalah sebuah tingkah memalukan. Pengalaman membaca komik Doraemon sewaktu sekolah dasar tentu tidak ada kaitannya dengan isi karya yang membuat saya harus menangis. 

Seorang guru yang baik hati, waktu melihat saya membaca komik dalam ruangan sewaktu pelajaran berlangsung, terpaksa harus mengambil buku itu dari tangan saya, dan justru tindakannya itulah yang membuat saya sedih. 

Saya bersedih bukan karena isi komiknya, namun karena, seolah-olah, saya dijauhkan dari dunia yang begitu membahagiakan. Guru yang baik itu membawa pulang ke rumahnya komik Doraemon itu, dan komik itu telah hilang sewaktu saya tanya seminggu kemudian.

Lain halnya dengan dua buku (novel) yang saya baca beberapa tahun kemudian. Pertama adalah Kekaisaran Langit 1 dan 2 karya Linda Ching Sledge. Membaca dua buah seri novel ini bagi seorang anak sekolah menengah pertama, tentu membutuhkan kesabaran. 

Satu hal yang membuat saya tetap sabar adalah karena soal terbangkitkannya (wow) perasaan saya, tentang berbagai hal yang dialami dalam novel. Saya paham bahwa perang akan menghilangkan kebahagiaan orang-orang, seperti yang digambarkan dalam novel itu, tapi novel itu tentu tidak hanya bicara soal perang. 

Ada juga cinta. Dan tumbuhnya rasa antara Rulan dan Pao An (mudah-mudahan nama cowok ini betul adanya) membangkitkan rasa sedih sekaligus nyaman, lantaran kisah hidup sang cowok yang penuh dengan perjuangan dan kesengsaraan. Novel kedua ialah Taiko karya Eiji Yoshikawa (novel yang sangat menginspirasi saya untuk tiap minggu tetap ke gereja). 

Waktu itu saya hanya membaca empat seri karena tidak ada seri sambungannya. Saya menghabiskannya sewaktu saya ke Kota Kupang, ibukota Provinsi NTT tercinta. Dan bagaimana rasa sedih dan suka bisa dimunculkan dalam novel ini? Saya kesulitan merangkumnya, tapi alasan sederhananya, karena si Hideyoshi, manusia berwajah kera, berhasil menjadi Taiko, penguasa tunggal negeri Jepang. 

Dari mana asal Hideyoshi? Dia pemuda desa miskin yang miskin, dan karena perjuangannya, dia mampu menjadikan lawan menjadi kawan, musuh menjadi sahabat, dan mampu melalui berbagai tantangan dalam masa-masa perang. Novel ini memenuhi seluruh hayalan  idealku tentang perjuangan seorang anak dalam kehidupan nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun