Mohon tunggu...
ambuga lamawuran
ambuga lamawuran Mohon Tunggu... Jurnalis - Pengarang

Menulis novel Rumah Lipatan, novel Ilalang Tanah Gersang dan antologi cerpen Perzinahan di Rumah Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Percakapan Sunyi

23 Mei 2019   23:50 Diperbarui: 23 Mei 2019   23:53 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karya: Kopong Bunga Lamawuran

Kami bertemu untuk pertama kalinya di pasar tradisional. Waktu itu hari hampir gelap, dan aku harus buru-buru mempersiapkan makan malam, karena penyakit mag yang telah menggerogoti tubuhku bertahun-tahun lalu sepertinya tidak bisa ditolerir lagi. Sewaktu aku menerima uang kembalian dari penjual dan mengambil barang-barang yang baru saja kubeli, saat itulah aku melihat dia.

Dia, adalah seorang lelaki tegap, berkepala botak dengan bibir cukup tebal. Umurnya sekitar empat puluh tahun lebih. Pandangan matanya tajam. Pakaiannya sangat rapi dan bersih. Sebuah jam mewah melekat indah di pergelangan tangannya. Dia mendekatiku. Untuk mataku yang sudah terbiasa dengan hal-hal yang sederhana, penampilannya kali ini membuatku kagum. Dari penampilannya, aku mengira dia akan membeli seluruh isi pasar. Namun kemudian aku harus berkecewa hati karena sewaktu dia mendekatiku, dia tidak membeli apa-apa, hanya mengulurkan tangannya kepadaku.

"Aku ingin menjemputmu. Sekaranglah saatnya!" katanya sambil menjabat erat tanganku.

Aku kaget, merasa kehadiarannya mewakili berpuluh-puluh polisi. "Kita pernah bertemu sebelumnya?"

"Belum. Tapi aku sudah mengenalmu bertahun-tahun sebelumnya. Anggap sajalah aku semacam dukun yang tugasnya memonitor orang-orang tidak berguna seperti kamu," jawabnya dengan pelan dan berat.

Telinga dan hatiku sakit bagai dihantam sekepal tinju besi. Si kepala botak. Bukan. Si kepala porno sialan ini benar-benar mengucapkan kalimat itu tanpa rasa berdosa sedikitpun. Gayanya berbicara membuatku mual, sama seperti kepalanya yang membuatku hampir muntah.

"Sudahlah, Gerson. Tidak usah membuang-buang waktu yang sangat berharga ini. Menjemputmu ini saja sudah membuang begitu banyak waktuku. Dan aku harap kamu bisa mengerti akan manfaat waktu. Jadi, Gerson, kita harus berangkat. Sekarang!"

Aku semakin terkesima. Mungkinkah dia benar-benar seorang dukun yang memang bertugas memonitor orang-orang tidak berguna semacam diriku (seperti ungkapnya barusan)? Mengetahui namaku itu saja sudah cukup mewakili 'kedukunannya'.

"Apakah kita pernah bertemu sebelumnya, Bapa?" tanyaku lagi menyelidiki.

"Hahaha. Kita belum pernah bertemu sebelumnya, Gerson. Ini adalah pertemuan pertama kita. Dan satu lagi: jangan panggil aku 'Bapa'. Panggil saja dengan Menteri!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun