Mohon tunggu...
Muhammad Bahrudin
Muhammad Bahrudin Mohon Tunggu... Pustakawan - Data Librarian

Seorang pustakawan, penikmat kopi, dan pejalan yang tertarik dengan oprekan data dan statistik.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Semut Nangkring di Lidah

31 Januari 2012   05:21 Diperbarui: 3 Juli 2021   22:34 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siapa yang tak kenal hewan satu ini, semut? | Sumber gambar: Wolfgang Hasselmann on Unsplash   

Kebiasaan buruk kembali datang, melanda, menginjeksi kehidupan saya sekarang. 

Bukan bermaskud lebay tapi memang demikian adanya. Seperti halnya misalnya, semalem nih ya saya baru aja membunuh makhluk tidak berdosa dan tidak berdaya dengan sewenang-wenang. Seperti tanpa rasa bersalah dengan santainya saya memites seekor semut yang nangkring  di lidah. 

Bagi sebagian orang mungkin itu biasa, begitu juga bagi saya jika situasi, kondisi, toleransi, pandangan dan jangkauan (disingkat jadi sikon******) tentu akan berbeda. Semalem tuh posisi saya sedang dalam kondisi berpikir, yah, benar! Berpikir! Jarang-jarang kan saya melakukan hal bodoh semacam itu. 

Bujubuset! Emang saya sebodoh itu ya? Walaupun begitulah kenyataannya tapi setidaknya tidak perlu dipertegas disini deh. Ketika saya membunuh semut itu, emang belum ada perasaan apapun. Baru setelah saya ambil semut tersebut dari lidah dan saya lihat ternyata sudah tidak bernyawa, kok rasanya ada yang ganjil. Ada rasa  penyesalan, kasian, terharu juga yang tiba-tiba muncul. 

Apalagi kalau saya kaitkan dengan buku Etika dari K. Bertens yang pas banget lagi dibaca. Sepertinya kok saya sendiri sebagai manusia yang katanya paling beradab justru sudah melakukan tindakan yang immoral (catet! immoral beda dengan amoral ya). 

Begitulah, sekalipun hanya seekor semut, berarti saya sudah melanggar kaidah kebebasan yang dimilikinya, sebagai makhluk yang kemungkinan di kingdom-nya juga memliki apa yang mungkin mereka sebut Hak Asasi Hewan. Ya Tuhan, sebejat apa aku ini? Kenapa sebelumnya saya gak berpikir demikian? 

Gimana kalau seandainya semut yang saya bunuh itu adalah bapak atau ibu semut? Terus gimana nasib anak-anak mereka? Jadi yatim dong? Terus seandainya itu anak semut, gimana juga perasaan orang tuanya kalau tahu anaknya tewas terbunuh dan jenazahnya gak ditemukan? Soalnya setelah saya bunuh langsung saya buang gaktau kemana. Sadis banget kan?. 

Semut itu kan sama-sama makhluk Tuhan. Apalagi mereka punya banyak keistimewaan, suatu mukjizat yang luar biasa. Kalau kita lihat video atau tulisan-tulisan tentang keajaiban semut, kita akan tahu betapa makhluk sekecil ini mampu melakukan dan menjadi prototype dalam hal-hal besar. 

Sebagaimana kita lihat bahwa ada sekitar 8800 spesies semut yang sangat luar biasa. Mereka berkoloni dan mampu melakukan hal-hal besar di luar kapasitasnya sebagai makhluk lemah. Bagaimana mereka bisa merancang suatu jalan raya (semut atta), metode pertahanan diri yang luar biasa, semut penenun, semut pemanen, semut madu, penguasa taktik yang dimiliki oleh semut api dan sebagainya. 

Oleh karena itu, kita sebagai sesama makhluk yang diberi naluri dan kebebasan dalam mengelola alam ini, sudah sepantasnya untuk memiliki masing-masing peri-***  yang pada nantinya akan semakin mendewasakan kita agar saling menghargai dan menghormati sesama makhluk Tuhan, sekecil dan selemah apapun dia. 

Masih menyesal, sudah membunuh semut itu semalem. Semoga diterima disisi-Nya dan dosaku diampuni. Amin...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun