Mohon tunggu...
Amas Mahmud
Amas Mahmud Mohon Tunggu... Jurnalis - Pegiat Literasi

Melihat mendengar membaca menulis dan berbicara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Waktu Berganti, Hidup Kita Bermutasi

14 September 2022   09:21 Diperbarui: 15 September 2022   09:35 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Dunia itu seluas langkah kaki. Jelajahilah dan jangan pernah takut melangkah. Hanya dengan itu kita bisa mengerti kehidupan, dan menyatu dengannya. Begitu, kata Soe Hok Gie. Lantas dimana cermin diri kita?. Tentu soal menata masa depan.Mengatur karir, semua manusia punya skema dan clue. 

Bagiku, tidak ada perjuangan yang terlewatkan sia-sia. Atau tanpa jejak. Kehidupan ini tidak seperti kita menulis di atas air. Tidak seperti kita melukis di tepian pantai, di atas pasir yang setelah melukis. Ombak datang mengilangkannya. Tidak begitu.

Kehidupan itu terus bergulir. Ada yang waktunya seperti dihabiskan di jalanan. Tanpa makna. Tanpa memberi manfaat untuk diri. Apalagi keluarga dan bangsa. Ruang kesedihan menyeruak, jika kita berpersepsinya seperti itu. Hidup dengan waktu yang kita jahit, yang kita konstruksikan, tetaplah berarti.

Seperti jejak langkah yang diceritakan Pramoedya Ananta Toer dalam Novelnya. Perjalanan Minke dalam menyelesaikan sekolahnya di STOVIA Batavia, juga memberi pelajaran. Melalui dialektika, interaksi sosialnya membuat perasaan nasionalisme Minke bangkit.
Kita juga begitu.

Bermutasi dari satu era ke era selanjutnya. Dari satu zona ke zona berikutnya, tak akan bebas nilai. Kadang jenuh dan putus asa menghampiri. Seolah mencekik kita. Padahal, kita tidak sendiri. 

Tuhan selalu punya alternatif dalam membimbing kita makhluk ciptaannya. Waktu kita habis di jalanan. Tanpa memikirkan beban hidup yang berat, sering kita menikmati canda tawa.

Bersama kawan, bersama pimpinan kita di tempat kerja kita tampilkan keceriaan. Berani kita meredupkan, membuat senyap kesedihan. Hingga benar-benar tidak nampak bahwa kita punya segudang masalah.

Tak disangka, kita menjadi lihai dan cermat menyimpan duka lara. Menjadi mahfum menciptakan kondisi ''kekurangan'' masing-masing. Entahlah. Bisa saja karena tidak mau terkesan cengeng. Bahkan bisa jadi kita terlampau berani berpura-pura kuat. Demi menjaga keharmonisan dan kewarasan.

Cara itu penting, bukan untuk kamuflase. Melainkan untuk menghormati perasaan orang lain. Kalau kita mau dalami dan bincangkan lebih jauh, begitulah perjuangan. Seperti itulah tekad hidup para pejuang. Tidak boleh bermental tempe.

Meski pada ruang interpretasi yang lain, kita tidak akan pernah tahu kapan waktu hidup kita di dunia. Boleh jadi, di tengah perjuangan kita meraih mimpi, Allah SWT memanjangkan umur. Hingga akhirnya kita menggapai impian. Atau, sebaliknya. Dimana cita-cita kita tercegat karena kematian menjemput.

Kehidupan telah mengajarkan kita. Mengajari kita dalam gambar besarnya. Bahwa ada yang sedang berjuang, namun sebelum impiannya termanifestasi, dirinya telah dipanggil sang maha kasih, Allah SWT. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun