Mohon tunggu...
Ai Maryati Solihah
Ai Maryati Solihah Mohon Tunggu... Human Resources - seorang Ibu dengan dua orang anak

Mengaji, mendidik, berdiskusi dan memasak indahnya dunia bila ada hamparan bunga tulip dan anak-anak bermain dengan riang gembira mari kita isi hidup ini dengan dzikir, fikir dan amal soleh

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kartini Millenial

20 April 2018   11:35 Diperbarui: 20 April 2018   12:08 1435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulan April biasa disebut bulan perempuan karena sederet aktivitas untuk memuja dan memuji seorang perempuan Indonesia yang telah berhasil mengubah tatanan budaya dari yang betapa menyanjung kebapak-an atau biasa disebut patrinealistik sedikit berubah menjadi berimbang. Ia bernama Kartini gadis jepara yang dalam Film Kartini besutan Hanung Brahmantio merupakan seorang gadis yang menjadi korban perkawinan paksa karna jeratan budaya.

Budaya paksa, budaya pembatasan, budaya pengurungan dan budaya nrimo untuk memilih pasangan hidup bagi perempuan sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan bagi umat manusia. Dalam kondisi tersebut seorang Kartini berupaya melahirkan sebuah pilihan, gagasan dan perlawanan untuk membuka mata teman-teman sebayanya yang juga perempuan bahwa sesungguhnya manusia tidak bisa diperlakukan demikian. Kekuatan mendobrak budaya yang saat ini dinamakan budaya patriarkhisme tersebut memberikan inspirasi bahwa keadilan harus ditegakkan, baik dalam diri manusia, keluarga dan masyarakat luas.

Perbedaan mendasar zaman Kartini tempo doeloe  dengan Kartini masa kini tentu sangat dipengaruhi budaya. Budaya tempo dulu yang sarat penindasan dipengaruhi iklim kolonialisme dan penjajahan secara militerisme disatu sisi, dan terlarangnya dunia publik bagi perempuan. Namun saat ini budaya kolonialisme berubah tidak lagi merupakan simbol penjajahan dan invasi, melainkan serangkaian nilai dan pemikiran yang menjajah jati diri perempuan hingga bangsanya sendiri.

kalau saat ini disebut Kartini masa millenial, dikarenakan perempuan dihadapkan pada persoalan yang penuh tantangan sebagai warga bangsa dan manusia pada umumnya. Pemikiran bahwa perempuan masih dibatasi dan ditindas pendidikannya bukan lagi cerita yang memaksa seorang perempuan. Akan tetapi persamaan akses, kesempatan, keterbukaan justru menjadi tantangan baru, sehingga willing seseorang, bahkan keluarga dan masyarakat untuk meningkatkan kapasitas perempuan dapat terangkat. Namun, apakah akses tersebut sudah di dapatkan?

Jawabannya belum. Perempuan Indonesia sudah dapat berkembang dengan maksimal, baik pendidikan, pekerjaan, mengasuh dan mendidik anak-anak, menjadi pemimpin di ranah kekuasaan bahkan penguasaan sumber daya alam dan sektor ekonomi. Namun berapa presentasi mereka? perempuan Indonesia masih terkerangkeng pada masalah rendahnya pendidikan, tingginya buta aksara, kematian ibu melahirkan, pemiskinan struktural, bekerja di ranah domestik dengan harga murah bahkan upah tidak layak. Perempuan Indonesia masih dihantui kekerasan di ruang publik dan domestik, kekerasan dalam rumah tangga dan persekusi, kematian dalam dunia buruh migran dan lain-lain.

Kartini millenial adalah perempuan yang harus mampu mengubah nasib hidupnya dari kebodohan menuju perubahan wawasan, pengetahuan dan kemandirian. Kartini Millenial bukan berarti berbeda dengan kartini Mbah Buyutnya, akan tetapi jenis tantangan dan peluangnya yang berbeda, untuk selalu disurakan dan direbut untuk perbaikan nasib perempuan.

Di tahun politik ini, Pilkada dan pemilu sudah di depan mata, untuk tidak mengatakan proses keterwakilan politik perempuan ini hanya sebuah ceremonial tanpa adanya perubahan secara visi dan gagasan, bagaimana kejelasan mengenai nasib perempuan dalam politik?. Bagaimana mendekatkan akses pendidikan, akses kesejahteraan dan dukungan politik jika perempuan masih sulit menjadi wakilnya. Sedangkan esensi perwakilan perempuan adalah mewakili pengalaman hidup perempuan dalam merengkuh seluruh akses tadi.

 Bahkan affirmative actions hendaklah lebih kongkrit dalam memenuhi minimum 30% parlemen perempuan untuk tidak terjun bebas apakah dipilih atau tidak nanti pada pemungutan suara?, alangkah lebih progresifnya bahwa angka 30% sudah disiasati dalam UU Pemilu bahwa itu merupakan angka JADI bagi perempuan di semua partai politik yang sudah berintegrasi pada perempuan. Tinggal bagaimana membangun fairnessnya dan strateginya itulah mandat kita menjadi negara demokrasi saling menguatkan dalam legalitas formal.

Selamat hari Kartini 21 April 2018 semoga Kartini Millenial lebih memberikan kemajuan bagi kaumnya, bagi anak-anaknya, bagi keluarganya, bagi bangsa dan bagi negaranya. Kita harus optimis!

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun