Paling tidak ada 3 terminologi yang menggambarkan bahwa perkawinan anak di Indonesia menjadi masalah krusial yang harus segera ditangani. Pertama terdapat dalam butir-butir Sustainable Development Goals yang salah satunya memuat tentang kesetaraan gender bahwa Indonesia memiliki agenda pembangunan manusia mencapai keseimbangan sumberdaya antara laki-laki dan perempuan dengan indikator mengurangi bahkan menghapuskan angka perkawinan anak yang kian tinggi.
Berdasarkan data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015, terungkap angka perkawinan anak di Indonesia peringkat kedua teratas di kawasan Asia Tenggara. Sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan Indonesia berusia di bawah 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah itu diperkirakan naik menjadi 3 juta orang pada 2030.
Kedua, terminology kekerasan perempuan, yang sering kali menimpa mereka dalam kehidupan berumah tangga. Dalam laporan Komnas perempuan, bentuk-bentuk kekerasan pada perempuan mencapai 15 katagori, diantaranya adalah pemaksaan perkawinan dan cerai gantung. Berdasarkan pemberitaan METRO TV, Jumlah kasus perkawinan usia anak di bawah usia 20 tahun di Jawa Timur sebanyak 3 ribu orang. Dari jumlah itu, Kota Surabaya merupakan daerah tertinggi kasus perkawinan anak di banding daerah lain di Jawa Timur yakni 150 kasus. Data BKKBN pada 2015, jumlah perempuan di bawah usia 16 tahun yang menikah atau hamil di Jawa Timur mencapai 5 ribu orang.
Ketiga, perkawinan anak melanggar hak anak untuk bertahan hidup tumbuh kembang, memiliki peran aktif dalam partisipasi mereka, juga bukanlah pilihan terbaik buat anak, sehingga melahirkan sikap-sikap diskriminatif di masyarakat. Padahal serangkaian hak anak tersebut merupakan prinsip perlindungan anak dalam konvensi Hak anak yang sudah diratifikasi melalui Kepres No 36 tahun 1990. Usia anak dalam UU ini adalah mereka dalam usia 0 sampai dengan 18 tahun. Pencegahan perkawinan anak juga tercantum dalam UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak pasal 26 yang berbunyi Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak; b. menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan d. memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada Anak.