Mohon tunggu...
Amaranggana Ratih Mradipta
Amaranggana Ratih Mradipta Mohon Tunggu... Lainnya - history graduates, bachelor of literature

culture, culinary, events and travel enthusiast.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Miracle in Cell Number 7, Membuat Saya Nabrut (Nangis Brutal)

26 September 2022   15:43 Diperbarui: 26 September 2022   15:49 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: antaranews.com)

Kamis malam, saya diajak oleh 'si dia' untuk menonton keesokan hari. Dia menawarkan kepada saya, mau film Mencuri Raden Saleh atau Miracle in Cell Number 7. Saya sebenarnya netral, saya oke-oke saja dengan kedua film tersebut. Namun karena saya lebih suka film action, maka saya mengatakan kalau saya lebih memilih film Mencuri Raden Saleh. 

Dia mengatakan dia ingin menonton keduanya, dan menyarankan kepada saya untuk menonton Miracle in Cell Number 7 terlebih dahulu, kemudian minggu depan baru menonton Mencuri Raden Saleh. 

Dia sudah terlanjur penasaran karena dia sudah menonton versi originalnya. Saya setuju dan kami membeli tiket langsung di bioskop. Sebelum saya ke bioskop, saya bertanya kepada adik saya, apakah kira-kira saya akan menangis menonton film ini? dia mengatakan, TENTU SAJA, kalau saya tidak menangis justru dia mempertanyakan kemanusiaan saya. 

Begitu duduk di teater, dia langsung memberikan saya beberapa lembar tisu. "Loh kamu prepare banget", komentar saya. Dia menjawab, "Iya aku nonton originalnya nangis, kamu mungkin nangis juga, ini jaga-jaga aja". Ternyata benar, saya menangis BRUTAL terutama di bagian akhir film. 

SPOILER ALERT ya teman-teman yang belum menonton.

Saya belum pernah menonton versi originalnya, tapi menurut saya--sebagai film adaptasi, plotnya ini Indonesia banget. Kata 'si dia' yang sudah menonton versi originalnya, film ini memang tidak 'saklek' sama seperti versi originalnya. Justru adaptasi ke Indonesia inilah yang membuat penonton lebih relate sama alur dan konfliknya. 

Bagi yang sudah menonton versi originalnya, si bapak Dodo ini kan 'gangguan mental'nya berbeda dengan si bapak yang di versi originalnya. Begitu juga dengan latar belakang tempat, seperti penggunaan 'Nusakambangan' sebagai tanda kalau dia adalah narapidana tindak kriminal berat dan hukuman mati. 

Pementasan agama Islam juga menjadi sentuhan yang (mayoritas) Indonesia banget, yang jelas beda dibandingkan dengan versi originalnya. Alur persidangan dan pasal-pasal yang disebutkan oleh Kartika juga membuat saya lupa jika ini adalah film adaptasi. Good job as always buat pak Hanung, bisa membuat adaptasi film ini menjadi sangat Indonesia sehingga mengena dalam pengalaman penonton.

Nah, karena saya belum menonton yang versi originalnya, saya hanya mendengarkan dari orang-orang yang sudah pernah menonton, aktor-aktor pada versi originalnya lebih dewasa dibandingkan dengan versi Indonesia. 

Akting dari Kartika kecil di versi originalnya pun lebih bagus dan lebih mengayomi ayahnya, padahal menurut saya Kartika kecil, yang diperankan oleh Graciella Abigail, itupun sudah bagus sekali. Bagaimana tidak, saya ikut merasa getir melihat aktingnya, saya serasa ikut terbawa perasaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun