Jadi, pagi ini sebagaimana biasanya saya memulai aktivitas hari ini di kandang babi yakni membersihkan kandang lalu memberikan makanan secukupnya pada babi yang ada.
Kebetulan jumlahnya hanya dua ekor.
Beda dengan sebelumnya yakni saya berani pelihara hingga empat ekor bahkan lebih. Bahkan saya berani memasang target ekonomis yang sangat  menjanjikan sekali kala itu.
Namun, takdir berkata lain. Dari beberapa babi yang saya pelihara tersebut yang berhasil mendulang rupiahnya hanya seekor saja.Â
Sedangkan sebagian besar lainnya terpaksa nyawanya tak tertolong dicabut oleh malaikat maut yang bernama ASF (African Swine Fever) sebuah virus mematikan pada babi.
Â
Kala itu bukan hanya babi-babi saya yang menjadi korbannya, melainkan hampir semua babi yang ada di seluruh kampung.
Saya pun coba menumpahkan rasa kedukaan itu pada pemerintah lewat petugas (mantri) hewan yang ada di kampung, alhasil saya dikuatkan lewat 'nasehat' yang cukup menghibur yakni, pihak pemerintah sampai sekarang belum memiliki vaksin untuk mengendalikan serangan ASF tersebut.
Sebagai tindakan pencegahan saja, semua peternak wajib melakukan Biosekuriti seperti: memperhatikan kebersihan kandang, tidak boleh mengonsumsi daging babi yang sudah terdampak dan seabrek langkah selanjutnya.
Akhirnya, semua wejangan tersebut kami bungkus dengan rapi dan mempraktikkannya secara langsung.
Namun oh namun, semuanya terkesan sia-sia belaka. Meskipun praktik Biosekuriti dilakukan, tetap saja, sebagian besar babi yang tersisa kembali terpapar dan mati.
Setahun berselang, warga sekampung tetap terbenam dalam kubangan yang serba dilematis.
Pertama, memilih untuk melanjutkan untuk pelihara demi menebus kewajiban adat. Sebab babi memiliki  nilai adat yang sangat tinggi di kampung.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!