Mohon tunggu...
Konstan Aman
Konstan Aman Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis, Petani dan Guru Kampung (PPG)

Pewarta suara minor dari kampung.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Badai Pastilah Berlalu" (Catatan dari Kampung)

5 Maret 2021   11:01 Diperbarui: 5 Maret 2021   11:06 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret Kampung Herang-Pacar, Flores pasca hujan (dokpri)

Belum sampai seminggu ketika surya telah kembali bertahta di atas singgasananya, semua aktivitas warga kampung kembali berhilir mudik. Maklum, selama hampir berminggu-minggu hujan turun dengan rubuh runtuhnya. Sehingga memaksa semua aktivitas yang biasa ditekuni oleh warga kampung setiap harinya jadi macet atau tersendat. Selama masa 'vacum' ini, semua warga tampak jadi gegana (gelisah, galau, merana). Semuanya terpaksa harus berdiam diri di rumah dan membiarkan berjarak dengan kebun. Sebab tidak hanya hujan yang menghantam melainkan disertai dengan angin kencang dan petir. Fakta cuaca pada awal tahun 2021 ini untuk seluruh wilayah Indonesia ini diwarnai dengan hujan dengan keterangan lebat dan ekstrim.  

Sehingga selama situasi tak sedap ini mengemuka, otomatis semua kebun milik dibiarkan terlantar alias tak terawat. Keadaan demikian menunggu hingga cuaca segera cerah kembali. Dan segala aktivitas yang produktif hampir tidak ada. Semuanya hanya di rumah saja dengan perasaan cemas yang tak karuan.

Sementara itu bencana pun malah tak urung menghujam dan menimpa beberapa tanaman berharga di kebun seperti cengkeh, kemiri, pisang, durian dan lainnya tumbang akibat diterjang oleh angin kencang. Tentu tak terhitung kerugian yang dialami bila dikalkusi secara riil. Tapi sudahlah, bencana ya bencana. Cukup berlapang dada saja untuk mengalaminya. Sebab kalau tidak demikian justru bisa berdampak buruk bagi diri seperti mengalami stress berat hingga mengundang depresi dan lain-lain.

Selama itu dampak bagi saya sendiri pun terasa. Selama hujan angin menguasai jagat raya kampung, selama itu juga jaringan seluler jadi tersendat. Akses komunikasi via HP jadi ikutan tersendat. Jaringan internet 4G sebagai satu-satunya syarat untuk berkoneksi dengan platform blog Kompasiana saya dari kampung jadi bloong atau mati.

Ya, begitulah dampak dari cuaca ekstrem, Pada setiap lini rutinitas banal jadi vacum. Sekalipun tidak dalam bentuk banjir atau tanah longsor sebagaimana yang tengah menimpa warga di daerah lainnya di Indonesia.

Pasca Cuaca Buruk

Akan tetapi, entah bagaimana pun, badai pastilah berlalu. Semua situasi yang kurang enak yang dialami selama cuaca kurang bersahabat pun kini perlahan-lahan berlalu setelah kini keadaan cuaca sudah cerah kembali. Dengan begitu, semua aktivitas telah kembali normal seperti biasanya.

Secara khusus yang dimaksudkan di sini adalah aktivitas perkebunan warga yang tidak semestinya harus taat dengan protokol kesehatan agar terhindar dari serangan wabah tak berwujud alias korona. Kalau terus-terusan di rumah aja ala prokes, terus mau makan apa.  Sangatlah menggelikan bila menyaksikan warga tani harus bermasker sebelum masuk kebun. Beda dengan rutinitas kantor yang setiap harinya bersua dengan banyak orang, maka prokes harus ditaati sungguh-sungguh.

Ketika keadaan cuaca sudah 'pulih' kembali, semangat untuk bersua dengan kebun pun sudah mulai menyala.

Nampak sekarang semangat dari para petani porang kembali menggeliat, ketika menyaksikan tanaman porang sudah mulai bertunas besar. Hampir setiap mereka tiada hari mulai berceloteh soal tanaman iles-iles ini dengan yang lainnya. Tentunya mereka membicarakan bagaimana tanaman ini benar-benar menjanjikan bila disambut dengan harga yang menyenangkan dari perusahaannya.

Potret petani porang, Pacar (dokpri)
Potret petani porang, Pacar (dokpri)

Sedangkan bagi petani vanili yang baru usai menanam tepat sebelum musim hujan kemarin, nampak berumringah kala melihat tanaman vanili mereka mulai menjalar lebat. Tak ayal, semangat mereka kembali didoping oleh si emas hijau yang semakin tumbuh dengan suburnya itu. Sembari menaruh harapan, bila kali ini semoga harganya kembali melejit agar sungguh-sungguh membawa perubahan bagi perekonomian mereka.

Begitu pun dengan petani duren. Pasca cuaca kembali cerah dalam sepekan ini, mereka berdendang ria memungut si bundar berduri yang jatuh dari pohonnya untuk kemudian di konsumsi atau pun dijual ke pasar.

Termasuk petani sawah yang juga mulai menghitung-hitung waktu yang tepat untuk mengetam padi ataupun menyemprot hama dan sebagainya.

Sementara untuk saya selain kembali beraktivitas juga sudah mulai mencari tema-tema tulisan terbaik agar sebisanya disharekan ke Blog Kompasiana, karena jaringan seluler untuk berinternet sudah pulih kembali.

Namun, terlepas dari letupan sumringah dari para petani yang sebagian besarnya lebih senang membudidaya jenis-jenis tanaman yang saya sebutkan di atas, ternyata luapan kekecewaan justru datang dari petani cengkeh. Ihwalnya, komoditas cengkeh milik mereka kali ini keadaannya tampak kritis dan tidak banyak berbuah. Bahkan pohon cengkeh yang biasanya berbuah lebat, justru kali ini tidak berbuah sama sekali. Hujan angin yang kian parah, seolah-olah menjadikan komodoti yang satu ini sebagai sasaran empuk. Tapi ya sudahlah, tak ada usaha tanpa bencana. Cukup mengamini bahwa badai pastilah berlalu.

Alih-alih membicarakan kondisi pertanian seusai hujan angin yang tiada henti selama awal tahun 2021 ini, ada cerita kelam lain yang menarik untuk di telaah mengenai rutinitas warga kampung di Herang-Pacar, Flores-NTT. Seperti biasanya, bila keadaan cuaca kembali cerah atau dalam arti sudah tidak hujan lagi, pekerjaan yang pasti dari setiap anggota keluarga dalam rumah tangga adalah mulai hiruk pikuk mencari air bersih di tempat-tempat yang sumber airnya stabil untuk memenuhi kebutuhan genting rumah tangga. Seperti untuk minum, masak, mandi, keperluan toilet dan lain sebagainya.

Terlihat bila pagi menjelang, mulai dari anak-anak yang hendak ke sekolah hingga orang tua harus beramai-ramai menuju tempat mandi umum yang jaraknya lumayan jauh sambil menenteng jerigen ataupun ember dan baskom. Semuanya berbondong-bondong hanya demi memenuhi urusan cuci muka, mandi, mencuci pakaian juga yang paling penting adalah untuk memenuhi urusan dapur pagi. Belum termasuk siang, sore hingga malam. Terkadang harus mengantri. Bila perempuan sudah duluan maka para lelakinya harus bersabar menunggu sambil tidak boleh mengintip dari balik pohon dan sejenisnya.

Situasi ketika sedang krisis air minum di NTT (voxntt.com)
Situasi ketika sedang krisis air minum di NTT (voxntt.com)

Uniknya juga ada yang menggunakan kendaraan yang diboncengi jerigen-jerigen kecil dan besar untuk menimba air. Bahkan mobil sedan dan pik-up khusus untuk mengangkut air. Sudah bertahun-tahun situasi ini serasa banal atau biasa saja. Barangkali segala kekurangan dan keterbatasan yang dialami demikian cukup dinikmati saja. Entah sampai kapan. Biasanya sampai saat musim hujan tiba. Atau menunggu era pencerahan baru tiba. Yah begitulah, namun tetap tidak bisa diamini dan tetap kembali pada ungkapan ' semoga badai segera berlalu'.

Demikian situasi kehidupan di Pacar, Flores-NTT ketika musim hujan perlahan-lahan usai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun