Mohon tunggu...
Konstan Aman
Konstan Aman Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis, Petani dan Guru Kampung (PPG)

Pewarta suara minor dari kampung.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

"Jangan Gengsi Jadi Petani", Sebuah Petuah dari Ayah

28 Januari 2021   12:15 Diperbarui: 28 Januari 2021   12:17 1014
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ket.:  Potret ayah saat di tengah kebun jagung (dokpri.)

Pada kesempatan kali ini, saya ceritakan sedikit petuah yang selalu ayah umbarkan setiap kali bila sedang bersama.

Saya berasal dari keluarga yang sederhana. Ayah petani sedangkan ibu pensiunan guru yang walaupun profesi itu digeluti hanya beberapa tahun terakhir saja. Kehidupan kami identik dengan bertani atau lebih tepatnya berkebun. 

Ayah sering disapa dengan paman petani unggul. Atau warga kerap menyapanya sebagai paman petani unggul. Unggul bukan karena beliau paling sukses dari sekian petani lainnya di kampung. Melainkan unggul dalam hal kebiasaan beliau yang sedikit beda. Seperti, beliau selalu bergegas ke kebun ketika hari belum terang benar atau saat hari masih subuh. Karena jarak antara rumah dengan kebun itu lumayan jauh. Untuk menjangkaunya membutuhkan waktu kira-kira satu jam dengan berjalan kaki. Harus melewati semua kebun milik warga lainnya sambil menenteng bekal antara lain beras dan air minum sambil parang dengan sarungnya di pinggang. Biasanya pada pinggang kiri beliau. Lalu pulangnya selalu pada saat ketika hari sudah mulai gelap, melintasi jalan yang sama sambil memikul kayu bakar di pundaknya.

Beliau sangat disiplin soal waktu. Baginya waktu tidak boleh disia-siakan begitu saja melainkan mesti dipergunakan sebagaimana mestinya. Misalnya menanam, menyiangi rumput di kebun, memangkas tangkai tanaman komoditi yang ada di kebun dan sebagainya. Singkatnya merawat tanaman di kebun. Barangkali prinsip serupa juga selalu diterapkan oleh para petani lainnya.

Adapun kontur geografis kebun yang kami miliki itu rata-rata berbukit atau berlembah atau tidak rata. Di dalamnya ditanami beraneka ragam jenis komoditi tani mulai dari vanili, kemiri, kopi, kakao juga terkadang diselipi dengan buah-buahan seperti advokat, duren, nangka dan rambutan. Semua jenis tanaman ini tumbuh dalam satu hamparan kebun. Berbeda dengan petani di belahan bumi lainnya seperti di pulau Jawa yang hanya menyukai sejenis tanaman saja. Sebab demikianlah model atau sistem perkebunan kami di Manggarai, Flores pada umumnya suka menanam yang campur-campur. Sekalipun banyak yang menganggap bahwa cara demikian masih sangat tradisional. 

Memang pada dasarnya ayah sangat suka sekali dengan menanam. Baginya menanam merupakan sebuah investasi yang besar. Ketika sudah mulai musim penghujan, ayah sudah mulai menggerakkan kami untuk bersiap-siap menyediakan lahan untuk ditanami jagung. Menanam jagung memang sudah menjadi kesenangannya sendiri. Beliau selalu bilang bahwa dari sebiji jagung kita bisa menghasilkan ratusan biji jagung. Apalagi kalau berbiji-biji jagung ditanam pasti akan menghasilkn berkali-kali lipat biji jagung yang dipanen nantinya. Itulah investasi berkebun yang beliau maksudkan. Itu pun baru dari jagung, belum dari pisang dan lain sebagainya. 

Maka dari itu, dalam setiap kesempatan beliau selalu menasehati kami bahwa tidak perlu malu untuk menjadi petani. Apapun latar belakang sekolah kita kalau memang belum memiliki tempat kerja yang sesuai maka bertani itu adalah salah satu cara untuk bagaimana mengolah hidup. Hal ini beliau umbarkan untuk menepis anggapan orang bahwa petani itu kerjanya "kotor". Anggapan demikian baginya telah menyesatkan mindset banyak orang khusunya anak-anak muda. Bahwa, menjadi petani itu hidupnya tidak maju-maju atau sulit untuk bisa menjadi kaya raya, memiliki mobil mewah dan lain sebagainya. Ini sesuatu yang sangat keliru. Lagi-lagi bertani itu adalah seni mengolah hidup. Kita kerja bukan untuk menjadi kaya melainkan untuk hidup itu sendiri. 

Maka tidak heran bahwa akibat dari anggapan yang menyesatkan di atas, tidak sedikit anak muda dari kampung yang telah memilih untuk mencari kerja di area perkotaan, seperti di Labuan Bajo. Di sana kerjanya menjaga toko atau menjadi tukang ojek dan sebagainya. Bahkan banyak pula yang memilih merantau ke luar daerah. Seperti ke Kalimantan, Sulawesi, Jawa hingga ke luar negeri seperti Malaysia, meninggalkan kampung halaman dan lahan perkebunan yang sudah ada. 

Inilah realitas yang beliau selalu sesalkan. Merantau ke daerah lain tanpa memiliki ijazah setingkat sarjana tentu sangat ironis. Yang jelas di sana kerjanya yah jadi suruh-suruhan atau "budak" dari bos-bos kaya. Atau malahan disuruh untuk bekerja sebagai penjaga kebun. Walaupun masih ada yang sukses, namun itu hanya sedikit orang saja. Karena lebih banyak yang kembali tanpa membawa apa-apa. 

Situasi demikian selalu membuat ayah resah karena menyebabkan areal perkebunan yang dimiliki di kampung sendiri jadi "tertidur" atau terlantar. Bahkan sungguh sangat tidak menjamin kehidupan di masa depan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun