Sebut saja contohnya yakni: hoaks yang dilakukan oleh seorang perempuan yang mengunggah konten di media sosial untuk membohongi publik dengan menulis akan terjadi gempa besar di Pulau Jawa juga yang aktual terjadi yaitu kasus Ratna Sarumpaet yang menyebarkan berita bohong tentang penganiyaan yang menimpa dirinya.
Rentetan penyebaran berita bohong ini menyebabkan peningkatan jumlah konten bermuatan SARA, provokasi hingga ujaran kebencian untuk memicu terciptanya konflik horizontal, sikap oportunisme, persekusi negatif dan populisme yang akut.
Bagi masyarakat yang minus nalar kritis, patologi sosial ini seakan-akan menjadi "teradministrasikan" atau menangkap dari satu dimensi saja yaitu dimensi afirmatif.
Dimensi afirmatif maksudnya adalah masyarakat tak memiliki daya kritis dan cenderung mendukung dan membenarkan sistem dan struktur manipulatif yang ditawarkan melalui media sosial.
Dan jika hal ini tetap terjadi maka media sosial sebagai media komunikasi virtual menjadi ruang yang menciptakan ketimpangan sosial dan defisit moral serta harga diri.
Tawaran Praktis
Lantas bagaimana upaya tegas untuk mengatasi realitas tersebut?
Sejak awal filsuf generasi kedua dari Teori Kritis yaitu Jurgen Habermas telah menawarkan rasionalitas komunikatif sebagai jalan emansipatoris untuk menangkal rasionalitas instrumental yang sifatnnya hegemoni dan homogen.
Realitas hoaks sejatinya merupakan contoh dari tindakan rasionalitas instrumental yang dipraksiskan dalam bentuk komunikasi virtual dengan menggunakan media sosial.
Oleh karena itu untuk menangkal realitas penyimpangan komunikasi (informasi) virtual Rasionalitas Komunikatif menawarkan beberapa klaim utama yakni:
pertama, understandability: kejelasan apa yang akan dikatakan sehingga apa yang dikemukakan dapat dimengerti.