Mohon tunggu...
amandalia Safira
amandalia Safira Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswi

Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Malang Hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Anak di Luar Perkawinan

31 Desember 2022   21:50 Diperbarui: 31 Desember 2022   21:50 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pandangan Pihak Kontra terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 terhadap Kedudukan Anak di Luar Perkawinan

Putusan MK tersebut, mendasari adanya pihak yang pro serta kontra di tengah masyarakat. Pihak kontra khawatir bahwa putusan tersebut akan menjadi awal dari legalisasi dan afirmasi kepada pernikahan beda agama, pernikahan siri, serta perbuatan zina.
Pihak yang kontra terhadap putusan tersebut tidak terkecuali MUI, yang kemudian menerbitkan fatwa mengenai anak hasil zina. 

MUI menganggap hal ini dapat menimbulkan kegelisahan, kerisauan, keguncangan serta dapat mengubah tatanan kehidupan umat agama Islam. 

Hal tersebut disebabkan karena berdasarkan penilaian MUI, keputusan tersebut bukan hanya sekedar menginginkan hubungan keperdataan antara ayah dan anak biologis yang tidak tercatat dalam Kantor Urusan Agama (KUA) saja, melainkan menyejajarkan kedudukan antara anak sah dengan anak yang lahir akibat zina.

Berdasarkan fatwa MUI pada 10 Maret 2012, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan karena sekilas terlihat bertentangan terhadap keputusan MK, namun berdasarkan fatwa tersebut, MUI juga tetap melindungi anak hasil perzinahan.  

Menurut Asrorun Ini'am (sekkom MUI), fatwa MUI tersebut bertujuan menegaskan Mk dalam memberi pertimbangan hukum dalam rangka menjamin perlindungan anak. Dinyatakan dalam bahwa anak tidak sah tidak memiliki hak sebagai ahli waris ayah kandungnya, namun ayah kandung tetap mempunyai tanggung jawab terhadap anak tersebut, yaitu dengan memberi nafkah serta menghibahkan harta saat ayah tersebut meninggal. (Asrorun Ini'am (Ini'am, Asrorun dalam wawancara fatwa MUI, 2010).
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa putusan MK hanya menegaskan tentang masalah keperdataan dari anak di luar perkawinan dan tidak membahasa tentang nasab sama sekali. Karena pada dasarnya masing-masing agama memiliki hukum dan peraturan sendiri dalam menyelesaikan permasalahan anak di luar perkawinan.

Stigma Negatif Masyarakat terhadap Anak di Luar Perkawinan

Suatu perbuatan hukum yang berdampak luas serta bersifat privat disebut dengan pernikahan (D. Y Witanto, 2012:225). Pernikahan menimbulkan norma hukum yaitu: kewajiban serta hak antar pasangan, harta, kedudukan anak, perwalian dan lain sebagainya. Sedangkan, kelahiran anak di luar perkawinan dianggap aib karena tidak dianjurkan oleh ajaran agama maupun norma yang berlangsung di masyarakat.

Anak yang lahir tanpa pernikahan atau anak tanpa ayah biasanya disebut sebagai "anak haram". Stigma negatif tersebut mengakibatkan anak di luar perkawinan menjadi dikucilkan dan tersisih dari pergaulan sehingga mereka sulit untuk melaksanakan fungsi sosialnya dengan baik. Anak di luar perkawinan biasanya menjadi individu yang tertutup dan tidak percaya diri karena stigma negatif yang telah melekat pada diri mereka.

Perlindungan Hukum yang Memadai terhadap Anak di Luar Perkawinan

Seluruh manusia pada umumnya, tanpa adanya anggapan bahwa anak tersebut anak sah maupun anak tanpa perkawinan, keduanya memiliki hak perdata menurut hukum karena mereka merupakan seorang anak. Pasal 1 KUHP menjelaskan bahwa "hak keperdataan dan hak kenegaraan tidak memiliki hubungan ketergantungan satu sama lain". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun