Readers.
Bumi Manusia. Film drama yang mengambil seting saat Indonesia dalam masa penjajahan Belanda. Aku deg-degan menunggu film ini. Luar biasa deg-degannya, hingga sesaat akan nonton pun aku cemas dengan film yang bener-bener aku tunggu rilisnya ini.
Cerita dibuka dengan adegan Manke yang dibangunin dengan cara yang berisik dan diajak temennya, untuk keliling kota Surabaya, yang dijadikan seting utama film ini. Dari awal  film ini dominasi Bahasa Belanda. Hanya sesekali terdengar Bahasa Jawa yang digunakan, begitu juga dengan Bahasa Indonesia. Ini yang merupakan satu hal yang menarik dari film yang digarap apik oleh Hanum Bramantio ini.
Menggunakan warna dasar pada kamera kuning ke orange membuat film ini terasa sekali lampaunya. Sementara itu, untuk cerita dan plot film ini terasa disusun dengan cermat dan bagus. Hanum Bramantyo sebagai sutradara pun dengan cerdik memoles dan meletakkan setiap adegan dengan pas dan manis tanpa melepas benang merah yang keren dari semua pemain hingga editor.
Semua detail pada film ini cukup terperhatikan dengan camereman yang rajin memberikan gambar-gambar bagus dari angel-angel mumpuni. Dan pastinya sutradara yang cukup teliti hingga ke editingnya. Editing merupakan salah satu penentu akhir seperti apa film itu akhirnya, dan pastinya dengan pengarahan sutradara.
Cerita
Cerita dibangun bertahap dengan konflik dan antiklimaks ditiap segmennya, dan dengan greget masing-masing. Hanum cukup jeli dengan menghadirkan Minke dengan sedikit gombalnya 'Dilan' diawal film. Menurut aku, ini trik bagus yang memicu greget penonton. Baik haters maupun loversnya Iqbal Ramadan yang berperan sebagai Tirto atau Minke. Bagi mereka yang sinis bakal mengkritik tapi tetap gemes. Yang suka bakal sedikit bernostalgia dengan sosok Minke yang menggunakan gombalan Dilan dengan bahasa Jawa yang medok. Pancingan yang bagus sih.
Makin ketengah konflik-konflik pun semakin berbobot. Dan semakin menguras emosi . Kalau diawal masih ada adegan yang bikin kita, minimal tersenyum, di part tengah ini kita mulai mengernyitkan dahi dan mulai serius. Hingga di akhir film penonton diajak ikut berempati yang menguras emosi. Setiap part diakhiri dengan ending yang bisa dikira anti klimaks film yang untuk pembuatannya dibangun studio alam di Jogja.
Casting