Jayoung, Yoona, dan Boram tanpa berpikir panjang mengambil kesempatan tersebut. Mereka bersama dengan para wanita tenaga kerja berupah rendah mengambil kelas bahasa Inggris yang difasilitasi oleh Perusahaan Samjin.Â
Rencana mereka adalah belajar bahasa Inggris dengan giat, mengambil tes TOEIC, kemudian pergi ke luar negeri untuk hidup yang lebih baik.
Sayangnya, jalan tidak semulus apa yang direncanakan. Masalah muncul ketika Lee Jayoung mendapat tugas untuk mengunjungi salah satu pabrik milik Perusahaan Samjin.Â
Saat melakukan kontrol, Jayoung menemukan fakta mengejutkan. Pabrik tersebut melakukan pelanggaran dalam proses pembuangan limbah. Mulai hari itu, Jayoung, Sooim, dan Boram harus menghadapi kecacatan birokrasi perusahaan yang sudah lama menjadi tempat kerja mereka.
Historis dan Feminisme yang Berkesinambungan
Saya suka dengan bagaimana sisi feminisme dalam film ini dibungkus dengan rapi dan tidak terlalu "bold". Bukan berarti menonjolkan feminisme dalam sebuah film itu tidak bagus, tetapi dengan menunjukkan dengan cara yang lebih tipis, publik yang masih awam dengan obrolan soal feminisme akan lebih mudah untuk relate.
Salah satu contoh ketidakseimbangan yang mereka alami adalah status kepegawaian mereka. Ketiga wanita itu menyandang status tenaga kerja berupah rendah selama delapan tahun.Â
Padahal beberapa kali diperlihatkan mereka memiliki kemampuan serta pengetahuan yang menurut saya lebih baik daripada staf reguler yang memiliki gaji jauh lebih tinggi dibandingkan tenaga kerja berupah rendah ini.
Kalau memang permasalahannya adalah gaji dan skill yang tidak sebanding, lalu kenapa dikaitkan dengan feminisme?Â
Karena dalam film ini, khususnya dalam Perusahaan Samjin, tenaga kerja yang diupah rendah adalah para pekerja wanita. Seperti apa yang diungkapkan oleh tokoh Sooim, wanita pada awal abad ke-20 meninggalkan dapur mereka untuk bekerja di pabrik tekstil.Â