Mohon tunggu...
Amalia Mitha Chairunissa
Amalia Mitha Chairunissa Mohon Tunggu... Lainnya - Lulusan Baru dari Institut Seni Budaya Indonesia Bandung | Sarjana Ilmu Sosial (S.Sos)

Hello, there! Kenalin nih aku Mitha. Aku punya ketertarikan terhadap penelitian, analisis sosial budaya, pendidikan, pariwisata, fashion, dan gaya hidup. So, aku ingin mulai menulis artikel-artikel berdasarkan minat aku dan hasil penelitianku hihihi.. Hope you enjoy it, guys!!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ambang Ambigu Childfree

12 Februari 2023   11:00 Diperbarui: 12 Februari 2023   11:25 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumen Pribadi

Jika dilihat dari sejarahnya, paham 'Childfree' mulai menjadi trend pada abad ke-18. Pada saat itu, para perempuan di Eropa memiliki anggapan bahwa sebagai seorang perempuan harus bisa melakukan berbagai macam pekerjaan seorang diri dan harus memperjuangkan haknya demi mencapai nilai kesetaraan. Dalam paham perempuan Eropa pada saat itu, kedua hal tersebut dapat dengan mudah terlaksana apabila tidak terbebani dengan kewajiban merawat, memperhatikan, dan membesarkan anak. Bahkan seiring berjalannya waktu, era industrialisasi dan demokratisasi ekonomi di Amerika dan  Eropa Barat menyebabkan para perempuan memiliki standar yang tinggi terhadap hidup mereka. Pada akhirnya, semakin tinggi standar hidup yang mereka ciptakan semakin membuat pengendalian terhadap pilihan hidup berpasangan dan memiliki keturunan. Paham ini seringkali dikenal dengan paham feminis.Seiring dengan perkembangan teknologi di dunia digital, paham 'Childfree' menjadi multi tafsir. Berbagai argumen mengenai Childfree mulai bermunculan dengan berbagai makna yang berbeda. Bagi beberapa individu, childfree memiliki arti tidak ingin memiliki anak sama sekali, baik biologis maupun non-biologis. Sedangkan bagi individu lainnya, childfree memiliki artian tidak ingin memiliki anak secara biologis tetapi tidak  menutup kemungkinan untuk memiliki anak non-biologis dengan sistem adopsi.  

Di Indonesia sendiri, 'childfree' menimbulkan ambigu hingga pro dan kontra. Walaupun berdasarkan data BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana) tentang situasi kependudukan pada 2020 tingkat childfree di Indonesia belum mencapai titik mengkhawatirkan, banyak masyarakat Indonesia memiliki stereotif negatif terhadap individu yang memilih untuk childfree. Banyak dari masyarakat beranggapan bahwa childfree tidak sesuai dengan kodrat perempuan sebagai makhluk yang memiliki fungsi reproduksi, fungsi kasih sayang, dan fungsi mengasihi.  Selain itu, childfree dinilai tidak sesuai dengan norma dan budaya Indonesia yang menempatkan perempuan sebagai sumber pemberi kehidupan; yakni sebagai pemberi keturunan yang akan melanjutkan keberlangsungan hidup kita.

Keambiguan childfree di kalangan masyarakat Indonesia saat ini mulai terjadi ketika seorang influencer wanita asal Indonesia yang aktif di media sosial Instagram yakni Gitasav mengemukakan pendapatnya bahwa tidak memiliki anak dapat membuat perempuan jauh lebih terlihat muda karena dapat melakukan perawatan botox dan tidak dihantui rasa stress karena mendengarkan jeritan tangisan anak. Menurut saya, keambiguan tentang childfree dikalangan masyarakat Indonesia pada saat ini disebabkan oleh penulisan dan tata bahasa yang disampaikan oleh Gitasav pada saat mengeluarkan argumennya, sehingga menimbulkan beribu individu memberikan sarkasme dan respon yang tak jarang menjadi boomerang bagi Gitasav dan bagi para penganut paham childfree lainnya. Netizen menganggap bahwa tidak ada korelasi khusus diantara tidak memiliki anak dengan dapat melakukan perawatan. Ya memang benar.. Faktanya, memang benar jika childfree tidak memiliki korelasi langsung dengan keleluasaan perempuan melakukan perawatan tubuh. Berdasarkan fakta dilapangan juga banyak sekali para perempuan yang telah menjadi seorang "ibu" tetap dapat melakukan perawatan bagi dirinya dan tetap menjalankan karir sesuai dengan passionnya.

Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang untuk mengambil keputusan tertentu, termasuk dalam hal ini Gitasav yang memutuskan untuk memilih 'childfree'. Terlepas dari pro-kontranya, childfree dapat disebabkan oleh rasa trauma yang ada dalam diri individu. Trauma tersebut timbul oleh adanya pola asuh tidak efektif dari orang tua dan cenderung mengarah kepada kekerasan yang tak jarang pula membekas dalam ingatan anak hingga ia tumbuh dewasa. Biasanya anak yang memiliki trauma terhadap pola asuh orang tuanya menjadi tidak memiliki hubungan yang sehat dengan orang tuanya, sehingga hal tersebut berdampak pada kondisi psikis sang anak yang tidak mau memiliki keturuan karena takut hal tersebut dialami oleh keturunannya nanti. Trauma yang lain juga dapat disebabkan oleh adanya diagnoasa penyakit kronis yang berhubungan dengan reproduksi. Tak jarang pula diagnosa suatu penyakit tertentu juga membuat trauma yang berujung memiliki keinginan untuk tidak melanjutkan keturunan.

Terlepas dari keambiguannya terhadap isu childfree saat ini, tidak ada salahnya seseorang memiliki paham yang berbeda dengan individu lainnya, sebab sebagai manusia tentunya memiliki hak asasi yang tentunya perlu dihargai, dihormati, dan dilindungi oleh sesama manusia. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun