Mohon tunggu...
Amak Syariffudin
Amak Syariffudin Mohon Tunggu... Jurnalis - Hanya Sekedar Opini Belaka.

Mantan Ketua PWI Jatim tahun 1974

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Belajar dari Nahas Nanggala-402

27 April 2021   16:14 Diperbarui: 27 April 2021   16:39 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(KOMPAS.COM/ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT)

Setiap tragedi yang terjadi, selalu dijadikan bahan pelajaran agar tidak terjadi pengulangan tragedinya. Demikian pula dengan tragedi yang menimpa kapal-selam made in Jerman Timur (sekarang sudah tidak ada) sekitar lebih dari 40 tahun silam, yang digunakan Indonesia sejak 1981 lalu. Di negara-negara maju, alutsista yang sudah berusia tua diistirahatkan. Terlebih yang sangat rentan terhadap pengaruh alam. Ingat, kita mengistirahatkan (dan memreteli) kapal-kapal perang tipe utama, seperti kapal penjelajah berat RI Irian dan kapal perusak berat RI Gadjah Mada.  

Besi dan bajanya jatuh ke pasar rombengan di Surabaya. Apalagi kapal selam yang sangat rentan oleh tekanan air laut, antara lain mengistirahatkan RI Pasopati.  Jadi kalau ada politisi (AHY; ketua umum Partai Demokrat) mengusulkan kepada Pemerintah untuk memperhatikan nasib keluarga seluruh ABK KRI Nanggala-402, kiranya sudah maklum tidak perlu usulannya lagi.  Pemerintah dan khususnya Panglima TNI, Kepala Staf TNI-AL, Presiden dan Kabinetnya sudah dan sedang mempersiapkan apa yang diusulkan itu. 

Kecuali bila tujuan usulan itu untuk mencari kesempatan ingin mendapatkan "nama" bagi partai politiknya dari tragedi itu. Yang sekarang perlu dipelajari, Pemerintah, apakah mencari kapal selam baru untuk menggantikan Nanggala 402 atau sementara tidak diperlukan saat ini karena harganya tinggi. Meskipun Nanggala 402 pernah berjasa dalam operasi intelijens sewaktu operasi pendudukan Indonesia di Timor Timur, sehingga menggagalkan rencana Australia saat itu untuk memasok pasukan ke Timtim (kini: Timor Leste).  Sementara kapal selam Nanggala sebelumnya (buatan Uni Sovyet untuk operasi Trikora dalam perebutan kembali Irian/Papua) tak jelas nasibnya.

 Memang perlu diperhatikan, alutsista yang rentan mendapatkan celaka seperti kapal selam, hendaknya terpikirkan untuk mengistirahatkan dan menggantinya dengan yang lebih baru. Tentang KRI Nanggala-402, seharusnya sudah diistirahatkan dan diganti yang baru paling lama sekitar tahun 2010. Apalagi presiden kita saat itu ialah militer berpangkat jenderal. Jadi masalah kemampuan dari kondisi umur dan fisik alutsista yang rentan celaka dapat difahami.

Nanggala 402 pecah menjadi 3 bagian dan tenggelam bersama seluruh ABK-nya, justru "cuma" di Laut Bali (utara pulau Bali) oleh faktor alam dan kondisi fsiknya sehingga diperkirakan ,masuk palung laut sedalam 828 meter, menjadi pelajaran bagi para nahkoda kapal sipil maupun kapal perang. Saya pernah melayari dan mondar-mandir di laut itu menaiki kapal perang kecil penyapu ranjau  (mine sweeper) KRI Pulau Rani sewaktu Gunung Agung meletus hebat tahun 1963, sehingga diperlukan kapal-kapal TNI-AL untuk memberikan bantuan/mengungsikan penduduk pedesaan yang terkepung banjir lava di sepanjang pantai kabupaten Karangasem, Bali. Waktu itu, yang dikenal punya palung laut atau laut-dalam ialah Selat Lombok. Ternyata kini, bahwa palung laut itu juga lewat dari Selat Bali ke utara, yakni Laut Bali. Belum lagi arus kuat yang mendesak dari Samodera Hindia mengarah ke Laut Bali dan Laut Jawa.

Jadi kiranya perlu ada penerangan dan peta-laut dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pushidrosal (Pusat Hidrografi dan Oseanografi Angkatan Laut), di mana saja jalur palung laut. Antara lain palung dalam yang membujur dari Selat Lombok ke utara memasuki Selat Makassar hingga ke Filipina Selatan. Dan sekarang ketahuan palung Selat Bli ke Laut Bali, dan mungkin bergabung dengan palung laut dari Selat Lombok. Keberadaan palung-palung laut berkedalaman hingga lebih dari satu kilometer itu perlu diketahui olehj setiap nahkoda kapal api milik pemerintah ataupun swasta, termasuk kapal-kapal layar bermesin seperti bentuk phinisi dan lain-lain. Sebab, selain palung-palung itu ada yang "menyimpan" binatang laut yang masih misterius, juga menjadi jalur arus yang kuat. Kesemuanya menjadi perhatian para nahkoda tersebut untuk berhati-hati dalam melayarkan kapal-kapal mereka. Mungkin nahkoda atau stafnya yang mengendallikan

Nanggala-402 tidak menyangka menjumpai palung dalam di Laut Bali itu, sehingga dapat memberi tekanan kuat pada tubuh kapal selamnya yang memang sudah rapuh oleh umurnya. Kita ikut berduka cita dan menundukkan kepala memperingat mereka yang gugur itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun