Ketika saya di Melbourne dan Sydney dua tahun lalu, Â pertokoan dan pasar besar dan kecil dikota-kota Australia itu, lebih dari 50 persen barang dagangannya asal impor dari Cina. Terlebih barang-barang cinderamata (souvenier) mulai dari sepatu, kaos, sampai dengan topi berlogo Kanguru (Australia) adalah 'made in China'.Â
Untuk kebutuhan kesenangan para gadis seperti tas-tas kecil sampai dengan boneka Kanguru atau lainnya, sampaipun beberapa peralatan elektronika juga sama. Industriawan Australia tak tertarik membuat barang-barang itu, karena tenaga kerja mahal, sehingga  terpaksa menjualnya dengan harga tinggi sehingga tidak laku. Imbalannya, Tiongkok mengimpor bahan baku, antara lain batu-bara.Â
Ketika tahun lalu timbul sengketa Australia-Tiongkok sebagai imbas sengketa politik dan perang-dagang Amerika Serikat-Cina, Â pemerintah itu dengan berani memutuskan menyetop beberapa jenis produk Cina dan penjualan batubaranya.
Contoh diatas bukannya mendorong Pemerintah kita juga bersikap begitu, karena pelanggarnya adalah industri/perusahaan swastanya. Lagi pula Indonesia masih membutuhkan investasi mereka.Â
Jadi, mungkin yang bisa dilakukan, mereka boleh menjual produk yang sama seperti yang diimpor sekarang, asalkan bukan dibuat di Tiongkok, tetapi harus di Indonesia dengan tenaga kerja kita.Â
Masalahnya, bagaimana dengan produsen kita untuk jenis produk yang sama? Itulah perdagangan. Bersaing dalam menentukan mutu, bentuk (desain) dan harga adalah landasannya.