Mohon tunggu...
Amak Syariffudin
Amak Syariffudin Mohon Tunggu... Jurnalis - Hanya Sekedar Opini Belaka.

Mantan Ketua PWI Jatim tahun 1974

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Empat Babak Berdarah Jelang Hari Pahlawan (Bagian Kedua)

18 Oktober 2020   18:41 Diperbarui: 18 Oktober 2020   18:48 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemberontakan di Surabaya sebagai reaksi ultimatum Brigjen. Mallaby dari tentara Inggris pada tanggal 10 November 1945 (Dok. Kompas)

Kita Harus Punya Senjata. Para pimpinan pemerintahan Surabaya dan BKR dipimpin Sungkono (kelak Kolonel, Pangdam Brawijaya yang pertama), dr. Mustopo, Muhammad (pimpinan Polisi Istimewa/ Brimob), Jonosewoyo (kelak Jenderal) dan Angkatan Lautnya dipimpin Atmadji, mulai memikirkan: apa kekuatan bersenjata RI di Surabaya? 

Ada informasi dan gejala kuat, karena sesuai perjanjian kalah perang, Jepang hanya akan menyerahkan seluruh persenjataannya pada Sekutu. 

Sementara pasukan Sekutu yang naik beberapa kapal perang menuju Surabaya dari Singapura ternyata disusupi pasukan dan pimpinan Belanda guna mempersiapkan pemerintahan kembali di Indonesia (1946 diresmikan operasional NICA/Netherlands Indies Civil Administration). Jadi, keputusan para pejuang kita: rebut senjata Jepang!

Diawali bentrokan-bentrokan kecil lawan serdadu Jepang di markas-markas kecil mereka dan dijalanan, akhirnya 1 Oktober 1945, meledaklah kemarahan pimpinan kita bersama ribuan rakyat Surabaya. 

Melalui seruan bergelora di radio (namanya ganti jadi RRI) berbondong-bondong bersenjatakan apa saja, menyerbu beberapa markas atau tempat konsentrasi militer Jepang hingga menjelang malam. Semalaman dipenuhi ketegangan dan kesiagaan. 2 Oktober 1945 pagi, dipimpin pasukan BKR dikepunglah markas-markas utama militer Jepang. 

Arah belakang rumah saya di Jalan Juwingan (usai mengungsi rumah besar dengan halaman seluas lk. 1,5 hektar harus dijual, karena keluarga menjadi tidak beruang dan lokasi itu  dijadikan gedung olahraga bulutangkis dan perkantoran) berada markas pool kendaraan militer Jepang di Gubeng Trowongan (kini menjadi kawasan pemukiman, pertokoan, perhotelan, restaurant dan lain-lain berganti nama Gubeng Kertajaya/Jalan Kertajaya Indah) yang berada di Jl. Nias dan ujung timur Jl. Sulawesi dan gerbangnya diterowongan viaduct kereta api.. 

Saya ikut Alimun, kakak ipar yang saya ceritakan pada Bab 1,  yang memimpin beberapa pemuda ikut mengepung markas tersebut. Tidak lama menyerah dan kendaraan-kendaraan militernya dirampas BKR dan yang non militer oleh rakyat. Kami merampas pickup Dodge keluaran 1930-an yang masih kukuh plus BBM satu drum. 

Usai makan siang tergopoh-gopoh berangkat oleh seruan siaran radio, bahwa BKR dan massa sedang mengepung dan bertempur dengan tentara Jepang di markas-markas Jepang. Paling seru pertempuran merebut markas Kenpetai digedung bekas Soerabayasche Landraad (Pengadilan Negeri Surabaya) di Kebonrojo depan Kantor Gubernuran (kini lokasi Tugu Pahlawan). 

Pengepungan markas besar Kaigun (AL) Jalan Embong Wungu, dan pertempuran seru perebutan markas Marinir (Kaigun Tokubetsu) di Gubeng (kini lokasi City Mall) serta beberapa  markas kecil lainnya. Ketika kami dengan Dodge tua itu di Palmenlaan (kini Jl. Jenderal Sudirman) menuju markas Kaigun di Jl. Embong Wungu (sekarang Kantor PLN), ternyata Laksamana Shibata sudah menyerah. Panglima Kaigun wilayah timur di Surabaya itu memahami tidak mungkin melawan kekuatan massa. 

Ketika diinterogasi Sekutu (1946) di Singapura menyatakan: "pada 1 Oktober 1945, penduduk Surabaya berubah jadi rusuh, dan mereka menculik orang-orang Jepang dan merampas persenjataan dan kendaraan. Pada 2 Oktober 1945, markas besar kami dikepung perusuh, jumlahnya 700 orang bersenjatakan sebuiah tank, senapan-senapan mesin berat, tombak dan pedang..."   

Kami meneruskan perjalanan lewat Jl. Simpang (kini Jl. Pemuda) kelokasi pertempuran perebutan markas Marinir Jepang di Gubeng. Diatas jembatan Gubeng kami melompat dari pickup dan langsung kearah terowongan viaduct Gubeng. Beberapa peluru bersliweran arah viaduct, sehingga kami harus merapat ke dinding-terowongan (bekas goresannya hingga kini masih ada). Di atas viaduct,   seseorang sambil telungkup memberi aba-aba "majuu..munduur" dan memukul keras-keras tiang kabel-telepon. 

Pasukan Jepang menembaki dan berkali-kali melemparkan granat dari balik pagar kawat berduri yang ditutup seng dan gedek-bambu. Beberapa serdadu memasuki plafon gedung kuno yang tinggi yang ada dibagian selatan membuka beberapa genting dan dari dalamnya menembaki penyerbunya. 

Namun akhirnya komandan Tokubetsu Gubeng memutuskan menyerah. Para penyerbu berbondong masuk merebut senjata, mesiu maupun peralatan lain. Ketika saya bertemu Alimun, mengeluh pistol kecilnya macet, tetapi berhasil merampas senapan Jepang meski tanpa peluru.

Petang hari rakyat berbondong-bondong meninggalkan markas itu, sebagian melewati depan setasiun Surabaya-Gubeng, bersamaan masuknya kereta api dari jurusan Malang. 

Tiba-tiba dari setasiun itu muncul perwira Jepang bersepatu laars tinggi akan menuju markas itu, namun saat tahu sudah menyerah, lalu dia berlari sebaliknya, arah selatan sambil diteriaki massa "Jepang! Jepang!".

 Dari pinggangnya dia cabut pistol berlaras panjang (seperti milik Kenpetai), membidik arah massa pemburunya namun tak meletus. Terlupa membuka pengamannya. Dia terus berlari keselatan arah Jalan Sumatera di Paviljoen Goebeng Podjok (kini jadi Hotel Sahid). 

Penginapan berpagar cuma setinggi satu meter itu ternyata merunduk Alimun dengan mempersiapkan bayonet diujung senapannya untuk menyergap Jepang itu.  

Saya berlari keseberang jalan, berlindung diluar pintu kaca restoran Cina diujung Jl. Sumatera-Jl. Pemuda. Ketika Jepang itu sudah dekat, Alimun muncul tetapi pistol Jepang itu menyalak. Peluru menghantam diatas mulutnya dan langsung roboh menelungkupi senapannya. Serdadu yang kebingungan itu akhirnya masuk garase Pavilyoen yang segera dikepung massa. Beberapa tusukan bambu runcing dan benda tajam mengakhiri hidupnya sambil mayatnya diseret massa.

Pertumpahan darah kedua menjelang Hari Pahlawan itu usai. Gedung markas Kenpetai terbakar habis dengan serdadu-serdadu yang tewas dan menyerah. Korban dari massa mencapai belasan orang dan disusul jumlah korban dari perebutan markas marinir Gubeng. 

Pahlawan pembela kemerdekaan yang gugur dalam pertempuran pertama sehari perebutan senjata itu 24 orang. Mereka penghuni pertama Makam Pahlawan di Jalan Kusumabangsa Surabaya. 

Termasuk Alimun. Hasil rampasan senjata: 21 ribu senapan-otomatik, senapan biasa dan senapan mesin berat/biasa, 17 meriam infanteri, 25 meriam znti-tank, 145 meriam anti-pewsawat terbang, 16 tank berat, 62 panser, 2 ribu truk dan ratusan lain-lain macam kendaraan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun