Mohon tunggu...
Amak Syariffudin
Amak Syariffudin Mohon Tunggu... Jurnalis - Hanya Sekedar Opini Belaka.

Mantan Ketua PWI Jatim tahun 1974

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Angka Tragis Dokter Korban Covid-19

17 September 2020   15:57 Diperbarui: 17 September 2020   16:13 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas Rumah Sakit Berjalan Di Dalam Ruangan Isolasi Khusus Untuk Wabah Virus Corona Di Rumah Sakit Umum Daerah Zainal Abidin, Aceh. (Serambi/Hendri)

Di seluruh negara-negara Asia (demikian juga di benua lainnya didunia), sudah ratusan para tenaga medis berguguran akibat tertular melayani pasiennya atau dalam kondisi tempat kerjanya yang dikelilingi hantu covid-19. Tetapi, ketika PB IDI mengumumkan (14/9) kematian dokter anggotanya termasuk kategori tertinggi di Asia, yakni 116 orang dokter, 7 diantaranya guru besar (professor), kita terkejut. Sebegitu ganas "musuh dalam selimut" itu tidak terbendung.    

Membayangkan para dokter maupun tenaga medis lainnya berguguran semacam itu, kalaulah memperbandingkan dengan betapa susah-payahnya mereka merengkuh status profesinya dengan melewati lembaga pendidikan yang susah, lama dan berbiaya mahal, maka kematian itu merupakan tragedi kemanusiaan dan nasional yang besar.  Tidak sedikit dari dokter/tenaga medis itu yang masih berusia muda. Berarti masih jauh rengkuhan kehidupan yang seharusnya bisa dijalaninya.

Tidak sedikit mereka tertulari karena tidak menyadari, bahwa pasien yang ditanganinya ternyata tertular positif covid-19. Di kalangan dokter, banyaknya dokter spesialis menjadi korban covid-19. Menderita penyakitnya ataupun meninggal. Padahal, apabila dokter menangani penderita covid-19 yang tak diketahuinya, umumnya serentetan dokter-anestesi, calon dokter spesialis,serta para perawatnya juga ikut tertular. Rumah-rumah sakit kini merasakan kekurangan tenaga medis. Terutama para dokter spesialis penyakit paru, penyakit dalam lainnya dan dokter spesialis-anestesi.

Sebagai contoh, kebetulan cucu saya dokter spesialis bedah-jantung dengan mesin elektronik (yang tidak dipunyai setiap rumah sakit) yang harus membedah seorang ibu asal luar kota yang dilengkapi surat keterangan bebas covid-19 dari rumah sakit pemerintah setempat. Operasi pun dilakukan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Sewaktu dalam proses  pembedahan, tiba-tiba diterima laporan dari laboratorium: pasien itu positif menderita covid-19. Dia sendiri mulai merasa tidak enak badan. Segera memeriksakan dirinya: tertular covid-19. Segera semua tenaga medis yang membantu menangani pembedahan jantung tersebut harus memeriksakan diri. Juga tertular!  Cucu saya harus mengisolasi diri dan pengobatan dirumah, sehingga selama dua minggu, baru dinyatakan terlepas dari virus itu.

Beberapa dokter spesialis dan keluarganya yang rata-rata berusia lanjut yang saya kenal pun sudah gugur sebagai Pahlawan Kesehatan. Diluar negeri disitilahkan sebagai "the Warrior". Yang jelas, gelar yang diberi Pemerintah itu tidak ingin disandang mereka, karena berarti berpisah selamanya dengan profesinya dan orang-orang yang disayanginya.

Jadi, tidak mengherankan kalau Kepala Daerah yang peduli dampak mematikan pandemic tersebut sekarang sangat dipusingkan. Gubernur DKI Jaya Anies Baswedan yang stress karena Jakarta mencatat  angka penderita dan kematian tertinggi di Indonesia akibat covid-19 itu diistilahkan  harus "mengerem darurat" dengan menerapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) bagi Jakarta selama 2 minggu, meskipun  menimbulkan polemik.

Titik beratnya, kembali pada kesadaran individu masyarakat untuk mematuhi disiplin,  sekurang-kurangnya melakukan protokol-kesehatan. Sebab, baru untuk menggunakan masker hidung-mulut saja sudah banyak yang melanggar. Jadi perlu ketegasan, seperti dikenakan denda bagi pelanggarnya. Itu benar!

Memang, terus-menerus bermasker sering menjadikan rasa bosan. Ada yang beralasan membuat sesak bernafas. Biasa berkumpul dan bergerombol lalu kini dilarang demi menghindarkan penularan, juga banyak yang keberatan. Mungkin terbawa pesan lama "kumpul gak kumpul asal makan".  Bahaya maut menggandeng  yang mengabaikan protokol kesehatan, menjadi terterular covid-19 serta membahayakan dirinya, orang-orang dekatnya dan masyarakat, Demikian pula yang bisa terjadi terhadap para dokter dan tenaga medis lainnya.

Sementara itu muncul keluhan kurangnya perhatian serius dari pimpinan Rumah Sakit milik Pemerintah (Pusat/Daerah) terhadap para tenaga medisnya yang tertular covid-19. Mungkin direksi RS itu jadi pusing, stress dan takut. Apalagi yang harus diperbuatnya? Covid-19 bertambah ganas dan mematikan. Dinegeri kita setiap hari 135 orang meninggal akibatnya. Ilmuwan dan penguasa masih dikalahkan kehebatannya.

Indonesia sudah melampaui jumlah persentase kematiannya. Dunia 3,16%, kita 4%. Padahal, kita tidak ingin jadi pemenang lomba kematian itu. Sebab hadiahnya adalah isak-tangis dukacita dan derita bagi mereka yang ditinggalkankan didunia.

Karenanya, masyarakat menunggu sejauh mana vaksin made in Indonesia atau luar negeri yang diproduksi itu diedarkan melawan musuh tersembunyi itu. Bisa dipercaya manjurkah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun