Mohon tunggu...
Amak Syariffudin
Amak Syariffudin Mohon Tunggu... Jurnalis - Hanya Sekedar Opini Belaka.

Mantan Ketua PWI Jatim tahun 1974

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak-anak Vs Covid-19

1 Juni 2020   11:02 Diperbarui: 1 Juni 2020   11:17 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa sekolah dasar mengenakan masker saat berada di area sekolah mereka | tribunnews.com

Belum ada kabar kalau anak-anak yang seolah "dipertandingkan" dengan covid-19 muncul sebagai pemenang. Malahan ada kabar, di Mataram, NTB, seorang bayi berusia 6 hari dan dua anak-anak berusia 4 dan 15 tahun pada 30 Maret lalu jadi korban covid-19. 

Kalau saja Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang rutin mengeluarkan informasinya itu juga khusus menyiarkan berapa jumlah anak-anak korban virus itu, barangkali membuat bulu tengkuk kita merinding. Nasib generasi mendatang kita dipenggal-penggal di saat ini.

Jadilah mengherankan, bahwa dalam persiapan "new normal" atau "normalisasi baru" dalam kehidupan sosial berikut aturannya di beberapa kota atau kabupaten sudah akan membuka kembali sekolah-sekolah.

Tidak salah, apabila pengurus Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) di Pusat dan Daerah menyatakan keberatannya dan menghendaki agar sekolah bagi anak-anak jangan dibuka dulu. Sebab bukti adanya kenaikan jumlah penderita pandemi tersebut juga termasuk anak-anak. 

Bahaya yang mengancam mereka sangat dimungkinkan. Belum ada yang menang lawan covid-19 yang mungkin sudah muak memakan jiwa-raga orang-orang dewasa dan lansia. Ingin yang masih muda-muda. 

Kekhawatiran macam itu menjadikan Walikota Surabaya Tri Rismaharini karena kenaikan jumlah anak-anak pasien virus itu dikotanya dan mengingatkan para orang tua untuk menjaga kesehatan anak-anaknya.

Perlu kiranya Mendikbud Nadiem Makarim dan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto berikut para Dirjen dan Direktur bidang masing-masing mau mendengarkan kekawatiran dan keberatan perorangan, kelompok orang/organisasi, para ahli di bidangnya termasuk IDAI, untuk menahan dulu ijin membuka sekolah sampai dengan pandemi itu bisa dikalahkan. Hendaknya dipahami, bahwa merawat pasien anak-anak lebih sulit bagi para dokter dan perawat yang menangani pengobatan virus itu.

Banyak juga orang tua yang menginginkan anaknya buru-buru masuk sekolah. Takut anaknya ketinggalan pelajaran. Apalagi kalau dekat-dekat dengan waktu ujian kenaikan kelas atau kelulusan. Atau kawatir, lama-lama tidak belajar disekolah dan dirumah saja, akan membosankan dan bisa jadi malas bersekolah. 

Lebih mengkawatirkan lagi, beberapa orang tua murid yang bisa saya temui menyatakan, sekolah dibuka lagi karena "ada pernyataan new normal". Diartikan kehidupan normal kembali, pandemi sudah lewat. Padahal, "new normal" (dimakna "tatanan baru") masih lebih bersifat coba-coba dan dengan aturan yang ketat terhadap protokol-kesehatan lawan covid-19. 

Kita salahkan beberapa pejabat pemerintahan yang seenaknya membuat pernyataan tentang "new normal", namun tidak menjelaskan apa syarat-syaratnya bagi warga di kawasan itu dan bagaimana menegakkan aturan itu. Tidak terpikirkan daya penerimaan masyarakat yang bisa berbeda. Menganggap "kondisi sudah normal" dari covid-19. 

Salah persepsi/pengertian itu harus diluruskan demi kejelasannya. Coba kita ikuti saja bagaimana perkembangan di daerah-daerah yang menerapkan cara itu dan pada sektor-sektor kegiatan apa yang "dinormalkan" itu.    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun