Mohon tunggu...
Amak Syariffudin
Amak Syariffudin Mohon Tunggu... Jurnalis - Hanya Sekedar Opini Belaka.

Mantan Ketua PWI Jatim tahun 1974

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seberapa Luas Keraton Majapahit?

17 Mei 2020   11:28 Diperbarui: 17 Mei 2020   11:28 957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Struktur Bangunan Yang Diduga Sisa-sisa Keraton Majapahit/Foto: Enggran Eko Budianto(Detikcom)

Di Museum Majapahit, di Trowulan Mojokerto, di Museum Provinsi Jawa Timur di kota Sidoarjo, maupun di Museum Nasional (Gedung Gajah) Jakarta, kita tidak bisa tahu data berapa panjang pagar keraton guna mengetahui luas kompleks Keraton (Istana) Majapahit. 

Apalagi gambaran jelas bentuk/struktur bangunan keraton Kerajaan Nusantara yang berkuasa dari Aceh hingga Manokwari (Kepala Burung) Papua. Tak ada gambar/foto sisa pagar maupun catatan ukuran luas areal petilasan itu. Cuma ada sketsa "peta" Keraton karya penelitian Maclaine H. Pont (Javaansche Architektuur; 1923) salah seorang penemu situs Trowulan. 

Kesimpulannya, ibukota Majapahit itu merupakan satu-satunya transisi arsitektur kota Hindu kekota kebudayaan Islam (Prof.DR.Ir. Parmono Atmadi, UGM, 1992).

Padahal, falsafahnya melatarbelakangi falsafah negara/pemerintahan kita, antara lain slogan "Bhinneka Tunggal Ika" (konsep keagamaan dalam "Sutasoma" ciptaan Mpu Tantular, cendekiawan Majapahit abad ke-14) yang menggambarkan meski berbeda-beda tetapi satu: Hindu Syaiwa dan Buddha Mahayana (prasati Kelurak, 782 M.). Kata-kata berikut: "Tan Hana Dharmma Mangrva" (Tidak ada kebenaran yang bermuka dua). 

Slogan itu terintegrasi dalam lambang NKRI Garuda Pancasila dengan pengertian kita berbeda-beda tetapi satu kesatuan  dalam agama, suku, bahasa, budaya/adat-istiadat, kepulauan dan kesatuan tekad.

Masalah ini saya kaitkan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei 2020). Para perintis kemerdekaan Indonesia yang hadir dalam Kongres Boedi Oetomo (Jogjakarta, 20 Mei 1908) mencetuskan semangat "Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: Indonesia", terdorong  oleh filsafati dan semangat berkebangsaan nenek moyang era Majapahit (abad 14).

Sangat banyak filsafati dan politik bisa diambil dari Majapahit yang didirikan Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana, 12-11-1293-1309 M). Terutama ketika cucunya, Hayam Wuruk (Sri Rajasanagara, 1350 M.) didampingi Mahapatih Gajah Mada, mewujudkan kerajaan Nusantara melalui kekuasaan ataupun berhubungan dengan kerajaan di Malaya, Siam, Ayothia, Lagor, Siam, Singapura, Barunai, Campa, Kambodia, Anam, India dan Cina. Tidaklah salah, nama itu digunakan oleh Komando Daerah Militer/Kodam V/Brawijaya. 

Kebesaran Majapahit berkawasan setara wilayah NKRI pada era modern ini sayangnya  bertambah kabur akibat kepentingan politik, sisa sikap kesukuan dan lain-lain. 

Hebatnya pula, generasi milenial kita banyak mengenal sejarah Yulius Caesar, Firaun, Cleopatra, Kubilai Khan, Chengis Khan,  George Washington, beberapa tokoh Timur Tengah dan internasional lainnya, ketimbang mengenal siapa Raden Wijaya atau Prabu Brawijaya ataupun Gadjah Mada.

Para arkeolog/sejarahwan Belanda/Hindia Belanda dulu justru tertarik meneliti/mengekskavasi situs Majapahit yang rusak akibat serbuan kerajaan Islam dari Demak (pimpinan Raden Patah, anak Brawijaya V) disusul  ditenggelamkan lumpur dan bebatuan berulangkali banjir bandang lereng gunung-gunung api Anjasmoro dan Welirang yang mengepung lewat sungai Gunting-Mojoagung (barat)  dan Brangkal (timur). 

Bersyukur adanya kepedulian para sejarawan Universitas Gadjah Mada, atau Universitas Negeri Surabaya dan Lembaga Kepurbakalaan Ditjen Kebudayaan di Trowulan.

Sebaliknya, lewat media instagram bermunculan semangat membesarkan kembali citra Majapahit. Banyak kegembiraan mereka bila terjadi penemuan baru situs kerajaan itu.

Apakah situs-situs dari candi hingga makam yang ditemukan sejak era Hindia Belanda cuma seluas itu lokasi istana? Di Museum kecil Trowulan pun tidak terdapat jawabannya.      

Kemendikbud dalam wacana Harkitnas 2020 ini bisa kiranya menetapkan memperluas penelitian situs Majapahit. Sekurang-kurangnya luas keraton dan ibukota itu. 

Memang 95 persen   sudah menjadi pemukiman, persawahan, perladangan rakyat. Namun penelitian untuk pemindaian/pencitraan obyek dalam tanah dengan drone dan Lidar (light detection and ranging) yang bisa disewa dari lembaga/universitas luarnegeri atau beli sendiri. 

Kalau perlu mengajak pakar luar negeri dan fokus pada keluasan batas keraton dan ibukota sekeliling kecamatan Trowulan, Brangkal, Bangsal, Puri, Pacet  (kabupaten Mojokerto) dan Mojoagung, Sumobito (kab. Jombang). 

Terlebih lagi apabila Kemendikbud meneliti bentuk bangunan keraton dan sekitarnya dan membangun maket besar untuk bisa disaksikan pengunjung dalam maupun luar negeri tentang kebesaran Majapahit (1293-1478) sebagai kerajaan Nusantara yang pertama dan terakhir dibumi kita. Selain sebagai materi pendidikan dan kesejarahan, juga menanamkan rasa bangga kebangsaan kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun