Mohon tunggu...
Amak Syariffudin
Amak Syariffudin Mohon Tunggu... Jurnalis - Hanya Sekedar Opini Belaka.

Mantan Ketua PWI Jatim tahun 1974

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Coba-coba Nekat Mudik, Bila Disergap Covid-19, Siapa Rugi?

30 Maret 2020   07:32 Diperbarui: 31 Maret 2020   16:33 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Mudik (kompas.com)

Kita bukan seperti pemerintah Cina. Kalau waktu itu penduduk Kota Wuhan dan Provinsi Hubei berani keluar dari lingkaran kota/perbatasan kawasan yang ditetapkan lockdown, sudah pasti ditangkap, dipaksa ke rumah sakit, dipenjara atau ditembak mati.

Pemerintah kita tidak melakukan lockdown (tutup total), karena akan sangat besar dampak kerugian terhadap para pelaku ekonomi kelas menengah dan kecil. Diambillah cara imbauan dan larangan tertentu serta anjuran agar menghindari virus corona itu.

Dalam sejarah nasional kita, barangkali baru pertama kali ini ada larangan bergerombol dan berdekatan (social distancing)

Pesta-pesta termasuk perkawinan diimbau untuk ditiadakan atau ditunda waktunya, pertemuan dan kegiatan-kegiatan yang mengumpulkan banyak manusia dilarang, sampai sekolah pun diliburkan, pegawai/karyawan disuruh kerja di rumah, tempat hiburan dan sejenisnya ditutup.

Beberapa Pemda sampai pedesaan dan perkampungan menetapkan sendiri pembatasan atau disebut "karantina kawasan" seolah "local lockdown" guna menghindarkan orang-orang luar memasuki kawasannya seenaknya. Harus lewat penjagaan dan diusahakan bukan pembawa virus itu yang bisa menyebar ke masyarakat setempat.

Namun anjuran pemerintah agar sementara ini tidak melakukan mudik ke kampung halaman, yang memang budaya tahunan kita menjelang lebaran, ternyata masih menjadi kendala untuk dipatuhi.

Ternyata Pemerintah Pusat dan Daerah tidak bisa mencegah mengalirnya keluarga-keluarga yang berkeinginan  mudik guna berlebaran di kampung atau desanya.

Contoh anjuran Gubernur DKI agar penduduk Jakarta yang berasal dari daerah tidak mudik, karena bisa terpapar ataupun menyebarkan virus covid-19. 

Nyatanya stasiun kereta api, terminal bus, ataupun lalu lintas kendaraan bermotor yang keluar ibu kota mulai membanjir membawa pemudik. Malahan ada yang beralasan berlibur. Beberapa daerah lain juga mengalami hal yang sama, seperti antara lain Provinsi Bali.

Dalam masyarakat kita tidak semuanya bisa tertib dan berdisiplin terhadap peraturan yang justru bertujuan melindungi kesehatan dan kemaslahatan mereka.

Salah seorang kepala keluarga bersama keluarga bermobil datang dari Jakarta ke Surabaya yang saya temui, dengan enteng menyatakan dia dan keluarganya yakin tidak tertular covid-19.

"Diliburkannya" ia selaku pegawai suatu kementerian dianggapnya kesempatan untuk kepentingan berziarah ke makam orangtua menjelang bulan puasa.

Bagus kalau memang sejauh ini ia dan keluarganya merasa sehat dan percaya tidak tertular. Namun tak ada yang tahu dan bukan tidak mungkin terjadi sesuatu yang tak diinginkan.

Motivasi keluarga-keluarga yang mudik dalam bulan ini hingga bulan depan bermacam-macam. Ada yang memang nekat sambil berspekulasi tak diikuti virus itu, atau mau mencoba-coba. 

Mungkin pula dorongan rasa wajib memenuhi kebiasaan setiap tahunnya ataupun tidak mau tahu bahaya virus itu ataupun anjuran dan peringatan pemerintah.

Apabila dilakukan "hitung-hitungan" apa yang telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah, para tenaga medis yang melakukan perawatan dan pengobatan dengan risiko tertular dan meninggal, masyarakat yang sangat peduli mencegah penyebaran virus itu serta pihak-pihak pelaku bisnis yang ikut membantu dana maupun tenaga demi pencegahannya, maka sudah pasti untuk setiap pasien yang terpapar covid-19 itu sangat tinggi biayanya dan resikonya.

Sejak pola karantina atau isolasi, sistem pengobatan dan perawatannya dan macam-macam lagi, barangkali kalau dihitung bagi setiap pasiennya bisa mencapai puluhan juta rupiah.

Meskipun ada dana bantuan dari kalangan pebisnis maupun perbankan, akan tetapi itu semua adalah beban negara. Jelas kerugin bagi negara kita untuk keperluan tersebut. 

Sedangkan orang-orang yang menentang resiko dengan tidak mematuhi anjuran pemerintah, belum tentu warga yang membayar pajak dari penghasilannya.

Kalau saja disiplin mematuhi anjuran yang baik dan bermanfaat dilakukan mereka, uang negara bisa agak dihemat guna keperluan lain-lain untuk pembangunan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun