"Diliburkannya" ia selaku pegawai suatu kementerian dianggapnya kesempatan untuk kepentingan berziarah ke makam orangtua menjelang bulan puasa.
Bagus kalau memang sejauh ini ia dan keluarganya merasa sehat dan percaya tidak tertular. Namun tak ada yang tahu dan bukan tidak mungkin terjadi sesuatu yang tak diinginkan.
Motivasi keluarga-keluarga yang mudik dalam bulan ini hingga bulan depan bermacam-macam. Ada yang memang nekat sambil berspekulasi tak diikuti virus itu, atau mau mencoba-coba.Â
Mungkin pula dorongan rasa wajib memenuhi kebiasaan setiap tahunnya ataupun tidak mau tahu bahaya virus itu ataupun anjuran dan peringatan pemerintah.
Apabila dilakukan "hitung-hitungan" apa yang telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah, para tenaga medis yang melakukan perawatan dan pengobatan dengan risiko tertular dan meninggal, masyarakat yang sangat peduli mencegah penyebaran virus itu serta pihak-pihak pelaku bisnis yang ikut membantu dana maupun tenaga demi pencegahannya, maka sudah pasti untuk setiap pasien yang terpapar covid-19 itu sangat tinggi biayanya dan resikonya.
Sejak pola karantina atau isolasi, sistem pengobatan dan perawatannya dan macam-macam lagi, barangkali kalau dihitung bagi setiap pasiennya bisa mencapai puluhan juta rupiah.
Meskipun ada dana bantuan dari kalangan pebisnis maupun perbankan, akan tetapi itu semua adalah beban negara. Jelas kerugin bagi negara kita untuk keperluan tersebut.Â
Sedangkan orang-orang yang menentang resiko dengan tidak mematuhi anjuran pemerintah, belum tentu warga yang membayar pajak dari penghasilannya.
Kalau saja disiplin mematuhi anjuran yang baik dan bermanfaat dilakukan mereka, uang negara bisa agak dihemat guna keperluan lain-lain untuk pembangunan.