Mohon tunggu...
Ama Kewaman
Ama Kewaman Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis Lepas

Lahir di Lembata, NTT, pulau terpencil bagai kepingan surga di bumi pada awal oktober 1994. Sekarang mengembara dalam jejak-jeak rantau.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan Tanpa Nama

3 November 2021   08:38 Diperbarui: 3 November 2021   08:41 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mataku masih tertahan pada senja yang turun perlahan menyisakan pelangi dikepung awan hitam dan perlahan-lahan hilang dari pandanganku. 

Aku sudah tak melihat lagi perempuan itu. Aku merasa terjebak dalam irama senja bersama perempuan tanpa nama, pemilik senyum yang indah dan tubuh molek dan seksi itu.

Seorang anak kecil yang duduk dibelakangku, tangannya menggaruk bekas luka dibagian kakinyaa yang belum sembuh. Disampingnya sebuah karung yang ia gunakan untuk memilih plastik bekas. Ia mengatakan bahwa perempuan yang berdiri disampingku tadi telah pergi. 

Ia hanya menduga bahwa kami adalah sepasang kekasih dan perempuan itu pergi karena marah denganku sebab aku lebih memilih jatuh cinta pada senja dan pelangi yang indah dari pada perempuan itu. Memang demikian, tak ada bedanya antara senja dan perempuan tapa nama itu. Sama-sama indah dan pesonanyaa memikat mata dan hatiku, bahkan mungkin bagi siapa saja yang menyaksikannya.

Aku menanyakan pada anak kecil itu tentang kemana arah perginya perempuan itu dan ia mengatakan bahwa, perempuan itu pergi melewati lorong antara tokoh itu setelah berpamitan denganku.

Aku memberinya uang lima ribu rupiah, setelah itu kususuri jalan tempat dimana perempuan itu melangkah pergi dari sisiku seperti yang dikatakan anak kecil itu. Barangkali ia menungguku dibelakang pertokoan itu. Namun tiba dibelakang tokoh itu, aku tak melihatnya. Aku hanya melihat banyak kontrakan dan kos-kosan putri berjejer di belakang pertokoan itu. Mungki saja ia tinggal di salah satu indekos ini. Di salah satu emperan kontrakan itu, terlihat anak-anak kecil mengenakan kopiah sambil duduk bersila hendak belajar mengaji. Pada emperan kontrakan yang lainnya, orang tua yang rambutnya sudah uban duduk sambil membaca koran dan kaca matanya jatuh dengan posisi tersandar di belahan hidungnya. Aku melihat sesekali ia meneguk cangkir teh tanpa rokok, dan di halaman rumah yang lainnya, seorang ibu sedang membersihkan emperan karena terendam banjir oleh datangnya hujan beberapa saat yang lalu.

Pada tempat yang lainnya, terlihat sebuah rumah dengan cat berwarna biru, pada dinding itu terpajang sebuah tulisan 'Tempat pijat dan Urut'. Aku ingat, temanku pernah berkata ketika kami bersam-sama duduk di kosnya menghabiskan bir dan whiski berbotol-botol, ia sempat mengajak kami untuk melepaskan sisa rasa mabuk kami di tempat urut. Katanya kalau kita ke diskotik bayarannya lebih mahal. Akhirnya kami memutuskan untuk berkunjung ke tempat urut. Sejak kejadian itu, aku mulai berpikiran buruk tentang banyak tempat urut yang ada di kota ini.   

Mataku mengawasi perempuan tapa nama itu disekeliling kos-kosan itu. Siapa tahu saja ia ada didekat sini. Aku berlagak seolah hendak menanyakan kos-kosan yang ada didekat sini dengan maksud untuk melihat-lihat keberadaannya, karena tatapannya yang dalam penuh makna telah menyisahkan teka-teki yang ingin kutahu jawabnya.

Tak lama berselang, aku melihat permpuan itu keluar dari tempat dengan dinding cat berwarna biru itu. Ia mengenakan baju tali satu, celananya yang pendek membuat mulus pahanya kelihatan hampir sampai ke selangkangan. Di tangannya terselip sebatang rokok yang ia tarik dalam-dalam. Ia langsung mengambil posisi duduk di emperan rumah itu dengan rokok yang masih mesra lekat di bibirnya.

Tak lama kemudian, seorang lelaki paruh baya keluar dari dalam rumah itu. Sampai di depan pintu, lelaki paruh baya itu membenarkan ikat pinggangnya dan menarik rosletingnya setelah itu berpamitan dengan wanita yang duduk di emperan rumah itu. Ia menghidupkan motornya, menutup helmnya rapat-rapat dan melajukan motornya keluar dari tempat itu.

Beberapa saat kemudian, satu motor lagi masuk dan berhenti di halaman rumah yang sama. Ia melangkah masuk ke rumah itu masih dengan mengenakan helmnya. Perempuan itu langsung berdiri menjemputnya di emperan rumah setelah mematikan rokoknya di asbak dan bersama-sama mereka melangkah masuk ke dalam rumah itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun