Bulan semakin tinggi, malam semakin menua. Peluit angin kembali melenguh panjang,
anak-anak tangga turun dari geladak kapal,
menjulur hingga menyentuh pelataran.
Aku kembali teringat satu sosok perempuan malang. Disepertiga malam saban hari. Ia mencintaiku dengan jujur, selepas meminjam bahuku untuk merebahkan letih hati. Entah cinta atau ekpresi dari hegomoni rasa nyaman, aku benar-benar dibuat dilema.
Memang, nyaman instrument agitasi paling ampuh menangkan hati. Namun kata-katanya masih teduh dalam pikiran : "jadikan aku kekasih hati, meski sebatas selir hati. Aku ihklas setia dengan hati". Rumah-rumah telinga seakan dipanggil memberi iba. Sedang hati belum terlalu pulih untuk menopang langkah.
Aku memeluk kepalanya sembari perlahan mengelus rambut, memapah kepalanya menuju dadaku. Biar ia rasakan detak nadiku lebih dekat.
Kudaraskan kecupan di keningnya, lalu berkata : Jika engkau tak punya rumah menetap, ada tempat kosong disisi hatiku. Tapi maaf, kondisinya begitu berantakan. Orang terakhir yang pernah menetap telah pergi, tanpa merapihkan dan membersihkannya selepas meraup segala sukacita.
Jika engkau berkenan : mari kita sama-sama menikmati luka.