Mohon tunggu...
Alzer Rohmatulloh
Alzer Rohmatulloh Mohon Tunggu... Lainnya - S1 Antropologi Universitas Airlangga

Suka Indomie

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Stigma Sosial Japanofilia (Wibu) yang Merebak Pada Generasi Z

19 Juni 2022   23:10 Diperbarui: 19 Juni 2022   23:21 2114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Viral. Sumber ilustrasi: PIXABAY/ktphotography

Penyebaran informasi semakin cepat tersebar karena adanya perkembangan teknologi yang disebabkan oleh globalisasi. Perkembangan teknologi tersebut memunculkan interenet yang saat dulu hanya dikenal oleh kalangan kelas menengah atas, saat ini telah menjadi fasilitas yang dapat digunakan oleh berbagai kalangan. Melalui jejaring internet, generasi muda dapat dengan mudah mengakses informasi-informasi yang mereka butuhkan. Selain itu, berbagai media seperti animasi, film atau musik dari luar negeri pun dapat dinikmati dengan mudah melalui jejaring internet ini. Kemudahan ini dirasakan juga oleh para pecinta budaya jepang atau produk jejepangan, seperti Anime (kartun animasi jepang), Manga (komik jepang), Tokusatsu, musik populer jepang dan lain-lain. akibat dari kemudahan dalam mengakses budaya jepang tersebut membuat ketertarikan pada beberapa orang khususnya yang lahir di tahun 1995 – 2010 atau yang kita kenal dengan istilah generasi Z (Manap, 2016). Pada generasi tersebut banyak orang yang kecintaannya terhadap produk jejepangan hingga sampai pada tahap fanatisme. Kemudian, dari hal tersebut muncul dan merebak istilah atau sebutan Weeaboo.

Weeaboo atau sering disebut juga Wibu adalah istilah atau ungkapan yang ditujukan kepada seseorang bukan Nihonjin atau orang jepang yang terobsesi dengan budaya Jepang dan produk jejepangan secara berlebihan. Jadi seakan-akan mereka hidup dan tinggal di lingkungan Jepang. Akan tetapi, yang perlu diingat adalah tidak semua pecinta budaya Jepang dan produk jejepangan bisa dikatakan sebagai wibu. Seseorang dapat dikatakan sebagai wibu apabila rasa kecintaan terhadap budaya Jepang mencapai tingkat fanatisme(Hidayat & Hidayat, 2020).

Dari hasil survei yang saya lakukan, ciri ciri seseorang yang bisa dikatakan sebagai wibu antara lain: (1) Sangat terobsesi dengan negara Jepang, dari budaya, bahasa, makanan, perilaku dan bersikap, hingga produk karyanya. (2) Dari segi sosial, terdapat wibu yang cenderung menutup diri dan malas berinteraksi, lalu terdapat juga wibu yang aktif di media sosial. Pada wibu jenis ini biasanya mereka memakai foto profil karakter anime, menggunakan username yang berbau Jepang atau menyelipkan kata-kata dari bahasa Jepang yang mereka ketahui dan mengunggah postingan yang berhubungan dengan budaya jejepangan. (3) Hampir semua wibu memiliki pacar khayalan. Maksud dari pacar khayalan disini yaitu seorang pasangan yang berupa karakter anime maupun film dari yang mereka tonton. Hal ini biasa dikenal dengan istilah “Waifu”. Kata tersebut merupakan serapan kata dari bahasa Jepang (わいふ), atau dalam bahasa Inggris “Wife” (Puspitasari & Khasanah, 2019). (4) Wibu sangat menyukai acara dan festival yang berbau jejepangan, seperti acara cosplay. Kata cosplay merupakan gabungan dari kata Costum dan Play. Acara ini sejenis pertunjukan yang dimana seseorang berkostum, menirukan gaya pakaian, gaya rambut, rias wajah, dan aksesoris yang sedemikian rupa hingga menyerupai karakter dalam anime maupun film. Acara ini membolehkan untuk wibu melihat dan berfoto dengan cosplayer (sebutan untuk seseorang yang melakukan cosplay) yang menyerupai karakter anime favoritnya maupun waifu mereka.

Menurut perspektif masyarakat Jepang sendiri mengenai wibu ini tidak ada masalah. Bahkan mereka cenderung senang dan menganggap sebagai pujian apabila terdapat orang luar yang memiliki ketertarikan terhadap negaranya. Walaupun pada dasarnya wibu tidak begitu memahami budaya Jepang yang asli, akan tetapi mereka masih tetap bersemangat mencari informasi tentang jepang. Perspektif tersebut berbanding terbalik dengan perspektif masyarakat Indonesia yang malah memberikan label dan stigma negatif. Beberapa faktor yang menjadi kemunculan stigma dan label negatif tersebut antara lain: (1) wibu memiliki kebiasaan binge-watching anime hingga berhari-hari yang dimana hal tersebut membuat mereka jarang berinteraksi dan bersosialisasi dengan masyarakat di lingkungannya. Selain itu, mereka juga melewatkan kewajiban mereka seperti sekolah, ibadah, membantu orang tua dan bahkan mereka juga jarang mandi. Akibat perilaku seperti itu menyebabkan mereka mendapatkan julukan “bau bawang”. (2) Akibat terlalu sering menonton anime tersebut, biasanya para wibu mengaplikasikan gaya karakter favoritnya ke dalam dunia nyata seperti gaya rambut, gaya berpakaian, bahkan gaya bicara dan bahasa juga. Mengenai gaya rambut dan gata berpakaian ini masih bisa ditolerir, akan tetapi gaya bicara dan bahasa tersebut membuat perubahan struktur kalimat bahasa Indonesia yang terdengar asing ditelinga masyarakat. Terkadang dalam percakapan, mereka kerap menggabungkan bahasa Indonesia dan bahasa Jepang, seperti: Bagyo – kun, ganbare mengerjakan UAS-nya” dengan intonasi dan pelafalan seperti di anime (Zanitri et al., 2018). (3) Pada wibu dengan rasa fanatisme tinggi, mereka seringkali membanding-bandingkan Jepang dengan Indonesia hanya berdasarkan dari kegiatan menonton anime, seperti bangunan sekolah di Jepang yang lebih estetik, ada libur musim panas, libur musim dingin dan libur musim gugur, lalu lebih mengunggulkan budaya jepang daripada budaya sendiri. Padahal mereka hanya mengetahui budaya Jepang tersebut dari karya seperti anime dan film yang dibuat dengan tujuan menghibur dan tidak benar-benar menggambarkan budaya Jepang yang nyata. (4) Wibu sulit mendapatkan pasangan. Sebagai gantinya mereka mengimajinasikan karakter di anime maupun film sebagai pasangan mereka yang disebut waifu. Biasanya mereka menggunakan guling yang besar dengan tinggi sekitar 150 cm – 160 cm, lalu dilapisi menggunakan sarung guling dengan gambar waifu mereka. Hal tersebut dinamakan Dakimura.

Berbagai kegiatan yang dilakukan oleh wibu seperti binge-watching anime, cosplay, dan lain-lain memiliki dampak positif dan dampak negatif. Maka hendaknya lebih selektif untuk mengambil sisi positifnya saja, seperti digunakan untuk melepaskan penat dan sekedar mencari hiburan, lalu memperoleh motivasi dan kreatifitas serta yang paling penting yaitu tetap diimbangi dengan rasa nasionalisme yang tinggi agar tidak melupakan budaya bangsa sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, D., & Hidayat, Z. (2020). Anime as japanese intercultural communication: A study of the weeaboo community of indonesian generation Z and Y. Romanian Journal of Communication and Public Relations, 22(3), 85–103. https://doi.org/10.21018/RJCPR.2020.3.310

Manap, J. (2016). Penggunaan dan Implikasi Media Sosial Terhadap Remaja Generasi Z. International Conference on Social and Economic Development, November, 1–11. https://www.mendeley.com/catalogue/26c1db59-48be-341c-af11-9e1440ea5d48/?utm_source=desktop&utm_medium=1.19.8&utm_campaign=open_catalog&userDocumentId=%7Bc5d73090-e69f-4fce-bb6c-c27dbdfc094f%7D

Puspitasari, G., & Khasanah, U. (2019). Persepsi Terhadap Tokoh Wanita Dalam Anime 2D Menurut Para Pecinta Anime Di Indonesia. Mezurashii, 1(2), 59–66. https://doi.org/10.30996/mezurashii.v1i2.3238

Zanitri, V., Hairunnisa, & Wibowo, S. E. (2018). Pengaruhmenonton Anime Jepang Di Internet Terhadap Perilaku Imitasi Di Kalangan Komunitas Japan Club East Borneo Kota Samarinda. EJournal Ilmu Komunikasi, 6(2), 15–27. ejournal.ilkom.fisip-unmul.org

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun