Mohon tunggu...
Aly Reza
Aly Reza Mohon Tunggu... Jurnalis - Hanya Bisa Menulis

Asal Rembang, Jawa Tengah. Menulis sastra dan artikel ringan. Bisa disapa di Email: alyreza1601@gmail.com dan IG: @aly_reza16

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepasang Pesakitan

9 April 2020   19:46 Diperbarui: 9 April 2020   20:11 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah berkali-kali menelepon dan tidak ada tanda-tanda bakal dijawab, sudah bisa dipastikan bahwa ada yang tidak beres dengan Tania. Dan jika sudah begitu, Prabu tahu belaka ke mana dia harus pergi.

Setelah sedikit berbasa-basi dengan karyawannya yang hanya seorang, Prabu lantas bergegas memacu motor bebeknya. Tentu setelah menitipkan gerai kebabnya kepada karyawannya tadi. Tidak hanya sekali itu saja Prabu pergi dengan mendadak. Hampir menjadi kebiasaan setiap Tania tidak menjawab telepon, maka apapun yang dia kerjakan saat itu menjadi tidak penting. Baginya, sesuatu yang bakal terjadi pada Tania (sahabatnya) adalah hal yang harus ditangani dengan segera.

Beberapa jam sebelumnya, Tania sempat mengirim pesan singkat ke nomor Prabu. Kurang lebih berbunyi: Prab, aku kumat.

Cukup kalimat pendek itu saja dan Prabu pasti mengerti, bahwa Tania sedang mengalami hari buruknya. Saat-saat yang akan membawa Tania pada kecamuk yang bakal sangat sulit untuk reda kecuali dengan satu cara: menyakiti diri sendiri. Self-Injury, begitu istilah yang digunakan para psikolog. Katanya masih masuk dalam kategori mental illness.

Sejauh yang Prabu baca dan ketahui, dan sepanjang kebersamaannya dengan Tania, penyintas gangguan seperti ini biasanya akan melukai dirinya dengan beragam jalan. Kadang dengan menampar atau memukul wajah, membenturkan kepala ke tembok, dan untuk kasus yang lebih ekstrem, penyintas biasanya akan menyayat-nyayat kulit tangannya dengan benda tajam. Dan itu dilakukan dalam kondisi sadar.

"Kamu tahu nggak sih, Prab. Setiap habis nyakitin diri sendiri gitu, rasanya plong banget. Karena seluruh rasa sakit yang ada di hati aku sudah terbayarkan dengan nyeri di sekujur tubuh," begitu ungkap Tania suatu kali.

Sebenarnya Prabu sudah berkali-kali memperingatkan Tania agar jangan coba-coba lagi  melakukan hal gila tersebut. Meski Tania meyakinkan bakal menurut, tapi yang terjadi adalah pengulangan-pengulangan pada waktu-waktu yang tidak pernah bisa ditebak. Walhasil, Prabu lah yang harus pontang-ponting tiap kali ada tanda-tanda yang tidak beres dengan Tania.

Setiba di kontrakan kecil Tania yang juga merupakan tempat tinggal Prabu, motor diparkir di sembarang tempat tanpa peduli lagi dengan situasi sekitar. Prabu membuka pintu utama yang tidak terkunci dan berlari menuju kamar Tania.

Tanpa pikir panjang Prabu lantas menerbos pintu kamar Tania yang kebetulan juga tidak dikunci. "Pliiisss jangan lakukan itu lagi," desis Prabu kala melihat Tania dengan rambut acak-acakan kini menggenggam sebilah pisau kecil. Prabu berderap pelan mendekati Tania, diraihnya pisau kecil itu dengan lembut. Pekerjaan kali ini sedikit lebih mudah karena tidak seperti biasanya, sore itu Tania tidak meronta, tidak ada  perlawanan seperti yang sering dia lakukan.

Sejenak Prabu membelai rambut Tania, sesaat kemudian didekapnya perempuan rapuh itu sambil pelan-pelan membelai rambutnya. "Semua akan baik-baik saja, Tania." Ucapan yang selalu bisa melerai gejolak lara yang tak terperi dalam dada Tania.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun