Mohon tunggu...
Aly Reza
Aly Reza Mohon Tunggu... Jurnalis - Hanya Bisa Menulis

Asal Rembang, Jawa Tengah. Menulis sastra dan artikel ringan. Bisa disapa di Email: alyreza1601@gmail.com dan IG: @aly_reza16

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ku Awasi Kau dari Seberang Panggung

1 Maret 2020   01:19 Diperbarui: 1 Maret 2020   01:54 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Biar ku mulai dengan pertanyaan sederhana, "Apakah kau masih suka menyaksikan pagelaran wayang kulit?." Ku harap tidak ada yang berubah dengan itu. Malam ini, beberapa menit lagi pagelaran wayang kulit dengan lakon "Semar Bangun Kahyangan" akan segera berlangsung. Kau tahu aku di mana? Tebak saja, tebakanmu tidak akan meleset sedikitpun. Ya, seperti masa-masa yang sudah lewat, pagelaran wayang kulit tetap digelar di lapangan tengah dusun. Satu-satunya tempat paling  memungkinkan untuk menampung puluhan sampai ratusan penonton, baik dari dalam maupun masyarakat dari luar dusun kita.

Ah, kita memang sudah tak saling bicara selama sepuluh tahun terakhir. Andai saja keadaan hari ini sudah jauh lebih baik, mungkin malam ini aku bisa menraktirmu bakso sebelum kita sama-sama menuju tengah lapangan untuk menyimak ki dalang bercerita. Bedanya, mungkin aku akan sedikit lebih sesumbar karena menraktirmu dengan uangku sendiri. Lain ceritanya dengan masa sepuluh tahun yang lalu. Untuk sekedar menraktirmu es temulawak saja, aku musti mengambil uang pecahan lima ratus rupiah dari gelodok almari samping televisi. Tentu tanpa sepengetahuan ibuku.

Kita benar-benar mulai tak terhubung saat aku memutuskan untuk kuliah di salah satu universitas swasta di Surabaya, mengambil konsentrasi di bidang fotografi. Hal yang belakangan aku tekuni sebagai profesi. Aku bekerja di sebuah perusahaan multimedia di Surabaya, kau mungkin belum tahu-menahu perihal itu. Gajinya lumayan, tapi jangan Tanya mengenai bilangannya, ya. Yang jelas, gajiku itu cukup untuk menraktirmu beberapa mangkuk bakso, sambil menunggu gamelan ditabuh dan para pesinden malantukan tembang pembuka.

Aku sebenarnya tak memiliki rencana pulang dalam beberapa bulan terakhir. Selain alasan pekerjaan, mungkin karena aku sudah terlalu nyaman saja di Kota Pahlawan. Tapi tiga hari yang lalu ibu meneleponku, memintaku menyempatkan diri untuk pulang akhir pekan ini. Aku tidak bisa menolaknya, kau tahu, ibu selalu punya cara untuk membuat hatiku menurut begitu saja kepadanya.

Bukan tanpa alasan ibu memintaku untuk pulang barang sebentar. Ada dua kejuatan yang ingin dia sampaikan kepadaku. Pertama, Disti, adik perempuanku sudah dipinang oleh partner kerjanya sesama guru di SMP kecamatan. Kedua, ya soal wayang kulit itu. Kau tentu masih ingat dengan insiden sepuluh tahun lalu. Insiden yang berbuntut pada pelarangan pagelaran wayang kulit di dusun kita. Insiden yang membuat kita akhirnya menjadi manusia yang asing satu sama lain. Insiden yang membuat kita benar-benar tak saling bicara kecuali untuk sekadar curi-curi pandang saat kita tanpa sengaja bertemu di simpang jalan.

Malam ini, untuk pertama kalinya sejak sepuluh tahun berlalu, izin pagelaran wayang kulit kembali dikantongi dusun kita. Barangkali karena situasi hari ini tak sekacau dengan masa ketika bapak kita saling bergulat dengan ambisi masing-masing.

Kalau boleh tahu, bagaimana kabar bapakmu? Semoga masih sehat dan segar. Kalau ada satu hal yang bisa aku ingat dari fisik bapakmu, tentu perutnya yang buncit. Ciri khas yang kemudian membuatnya lebih dikenal dengan panggilan "Pak Subur". Nama yang dipakainya dalam kampanye pilkades sepuluh tahun lalu. "Pilih Pak Subur, kerja jujur rakyat makmur." Seingatku, demikianlah bunyi jargon di baliho-baliho di mana wajah bapakmu terpampang di sana, dengan senyum setengah dipaksakan. Eh, atau mungkin memang begitu gestur wajahnya.

Sementara bapakku, doakan saja semoga dia tenang di dunianya yang lain. Bapakku meninggal karena serangan jantung, satu tahun setelah dia lepas tugas.

Pukul delapan malam persis pagelaran wayang kulit dengan lakon "Semar Bangun Kahyangan" dimulai. Aku duduk agak ke depan, sepelemparan batu saja dari panggung. Sesekali ku arahkan kamera ke wajah samping ki dalang yang luwes memainkan wayang, mencari sudut yang pas, untuk kemudian ku tekan tombol shutter. Maka abadilah momen tersebut sebagai gambar.

Aku masih tidak bisa untuk tidak membayangkan, seandainya malam ini kau duduk di sebelahku. Aku akan sangat antusias menjawab setiap pertanyaan yang kau ajukan. Misalkan, perihal siapa nama ki dalang itu? Aku pasti akan memberitahumu bahwa, namanya Ki Seno Nugroho, dalang milenial asal Yogyakarta yang baru naik daun dengan karakter Bagong yang sering dia bawakan. Atau apapun yang ingin kau ketahui. Termasuk jika kau ingin aku mengajarimu cara mengambil gambar secara presisi.

Jika boleh meminta, aku sungguh tidak menginginkan ini terjadi. Sepuluh tahun silam, tatkala kita masih asyik-masyuk menyimak lakon "Ramayana" tiba-tiba terjadi keributan dari belakang panggung. Keributan yang belakangan kita ketahui, Pak Suburlah yang memprovokatori. Bapakmu merasa dicurangi dalam pilkades yang rampung seminggu sebelum pertunjukan wayang kulit digelar. Sementara kepala desa terpilih, yang tidak lain adalah bapakku sendiri menyangkal telah melakukan kecurangan dalam bentuk apapun.

Baku pukul antara pendukung bapakmu dengan pendukung bapakku pun tidak terhindarkan. Meski tak butuh waktu lama untuk meredakan kedua belah pihak, tapi situasi malam itu benar-benar sangat kacau. Pagelaran wayang kulit yang di-tanggap bapakku sebagai bentuk syukuran atas terpilihnya dia sebagai kepala desa pun terpaksa dibuyarkan. Dan kau, malam itu digelandang anak buah bapakmu, meninggalkan aku yang masih mencoba mencerna semuanya,

Hmmm sudah sepuluh tahun, dan aku masih suka tidak terima. Bagaimana denganmu, apakah kau sudah bisa memaafkan kedua bapak kita?

*****

Sementara tidak jauh dari panggung, seorang perempuan diam-diam mengawasi laki-laki yang sedari tadi sibuk sendiri dengan kamera di tangannya. "Ternyata kau masih suka dengan wayang kulit, ya?," gumam perempuan itu dalam hati.

Surabaya, 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun