Mohon tunggu...
Aly Reza
Aly Reza Mohon Tunggu... Jurnalis - Hanya Bisa Menulis

Asal Rembang, Jawa Tengah. Menulis sastra dan artikel ringan. Bisa disapa di Email: alyreza1601@gmail.com dan IG: @aly_reza16

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sabtu Sore untuk Amanda

20 Februari 2020   14:37 Diperbarui: 20 Februari 2020   15:25 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keadaan masih belum berubah, meski delapan tahun sudah berlalu. Kau masih bertahan diam, menolak bicara dengan siapapun. Sebagian dari dirimu telah membatu, aku tahu itu, tapi aku merasa perlu membawamu keluar dari rasa bersalah yang kau pendam dalam-dalam. Rasa bersalah yang bertahun-tahun memenjarakanmu dalam ruang yang sama sekali tidak aku pahami.

Sabtu sore, sebagaiamana telah menjadi kebiasaanmu, aku kembali mengantarmu ke pemakaman yang terletak di tepi sebuah danau. Dan seperti yang sudah aku duga, kau datang untuk sekedar menatap kosong sebuah makam, berdiri mematung, dan sesekali mendongak ke langit. Di belakangmu aku hanya bisa menerka-nerka, barangkali kau sedang bercerita, tentang hari-hari berat yang harus kau tempuh dalam delapan tahun terakhir. Atau mungkin kau sedang menyampaikan bahwa selama delapan tahun berlalu, kau tidak pernah benar-benar sendirian. Sebab ada seorang lelaki yang keras kepala menemanimu, memperlakukanmu dengan sebaik-baiknya. Ah tidak, tidak mungkin. Aku terlalu jauh menerawang. Atau lebih tepatnya: menghayal, sorry.

Aku melirik arloji di pergelangan tangan kiri. Dari sana aku kemudian menyimpulkan, sekira lima belas menit lagi azan magrib akan berkumandang. Itulah saat dimana kau akan memutuskan untuk beranjak dari tempatmu berdiri, pulang.

Belum juga lima menit berjalan, rintik hujan turun perlahan. Beruntung aku sudah mempersiapkan kemungkinan tersebut. Maka ku dekati kau yang masih bergeming, lantas ku kembangkan payung persis di atas kepalamu. "Kali ini kau tidak harus menunggu magrib. Mari pulang. Percaya padaku, dia juga pasti akan mengerti." Meski aku tahu kau tak akan menjawabnya, tapi toh kalimat itu keluar juga. Iya, bagiku sudah tidak penting lagi kau bakal menjawabnya atau tidak. Sebab urusanku denganmu, sudah bukan lagi perihal kata-kata.

Kau berbalik tanpa merasa perlu melihatku, melintas begitu saja, seolah aku tidak sedang berada di sana. Tidak mengapa, aku toh sudah delapan tahun hanya menjadi bayanganmu, ada tapi tidak terlihat dalam pandangan matamu.

Setiba di rumahmu, aku menitip pesan kepada adikmu, Ara, untuk mempersiapkan makan malam. Sementara aku harus bergegas ke salah satu coffee shop di tengah kota. Ada janji yang harus ku penuhi. "Hujan lebat begini Kak, apa nggak sebaiknya Kakak nunggu reda" tawar  Ara kepadaku. Aku tersenyum, lalu mengacak-acak rambutnya. "Aku sudah ditunggu, Ra. Nggak enak kalau membuat temen-temen nunggu lebih lama lagi" jawabku sekenanya. "Kalau begitu kakak pakai mobil rumah saja" dia kembali memberi tawaran. Setelah ku timbang, ah rasanya tidak perlu juga. Mobil rumah hanya khusus untuk mengantarmu dan Ara. Untuk urusanku pribadi, ya tetap harus menggunakan milikku sendiri.

"Ra, nggak apa-apa, aku pakai motor saja" aku mencoba meyakinkan Ara. "Tapi kak," tanggapannya memprotes keputusanku. Ku dekati dia dan ku yakinkan sekali lagi, "Udah, amaaannn," Ara pun luluh. Setelah mengenakan mantel dan menstarter motor bututku, aku perlahan menancap gas sambil melambai ke arah Ara. Setelahnya motor ku pacu menyibak kerumunan hujan.

*****

Setelah mempersiapkan makan malam, Ara kemudian mengantar satu nampan berisi nasi goreng dan segelas susu hangat untuk kakaknya. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Ara langsung masuk ke kamar kakaknya yang jendelanya berhadapan dengan taman belakang. Dan di hadapan jendela itulah sang kakak menghabiskan hari demi hari tanpa bicara. "Kak Gigih baru saja pergi, kak. Katanya sih ada urusan kerjaan." Meski kalimat itu hanya akan menemui kebebelan, namun Ara merasa hal tersebut tetap perlu disampaikan.

Tanpa banyak bicara lagi, Ara beranjak meninggalkan kamar sang kakak. Namun tiba-tiba saja dia berhenti di muka pintu. Dia berbalik dan menatap nanar kondisi kakaknya. Sudah sekian psikiater, namun semuanya tidak ada yang berhasil mengembalikan kehidupan sang kakak. Sang kakak sudah lama hilang dari dunianya. Dunia yang berisi romantisme dan keceriaan.

Di kepala Ara kini berpilin peristiwa demi peristiwa di masa lalu. Delapan tahun lalu, kecelakaan maut terjadi di ruas jalan tol yang melibatkan antara sebuah mobil pribadi dengan truk pengangkut muatan. Pengemudi truk mengalami cidera di bagian kepala dan lengan kanan, sementara dua penumpang mobil pribadi dalam keadaan kritis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun