Mohon tunggu...
Financial

Hukum Menunda Gaji dalam Islam

20 Maret 2019   22:53 Diperbarui: 20 Maret 2019   23:32 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Hukum Menunda Gaji dalam Islam

Kewajiban bagi majikan adalah memberikan gaji atau upah kepada orang yang telah bekerja padanya. Dalam fikih Islam, upah atau gaji dikenal dengan istilah ijarah. Dalam al-Mujam al-Wasit, ijarah didefinisikan dengan upah atas pekerjaan dan akad manfaat dengan ganti rugi. Ijarah juga sebagai kompensasi jasa, manfaat, dan mahar.
Beberapa pendapat ulama madzhab tentang upah dalam ibadah :

Imam Abu Hanifah dan Ahmad melarang pengambilan upah dari tilawat Al-Qur'an dan mengajarkannya bila kaitan pembacaan dan pengajarannya dengan taat atau ibadah. Sementara Maliki berpendapat boleh mengambil imbalan dari pembacaan dan pengajaran Al-Qur'an, azan dan badal Haji.
Madzhab Maliki, Syafi'I dan Ibnu Hazm membolehkan mengambil upah sebagai imbalan mengajarkan Al-Qur'an dan ilmu-ilmu karena ini termasuk jenis imbalan perbuatan yang diketahui dan dengan yang diketahui pula.
Menurut madzhab Hambali bahwa pengambilan upah dan pekerjaan azan, qamat, mengajarkan Al-Qur'an, fiqh, hadits, badal haji dan shaum qadha adalah tidak boleh, diharamkan bagi pelakunya untuk mengambil upah tersebut.
Dalam islam, buruh atau pekerja bukan hanya suatu usaha atau jasa abstrak yang ditawarkan untuk dijual kepada para pencari tenaga kerja manusia. Mereka yang mempekerjakan buruh mempunyai tanggung jawab moral dan sosial. Artinya, seorang buruh dalam melakukan pekerjannya harus bersungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Dengan begitu, seorang buruh atau pekerja akan dipandang baik oleh seorang yang mempekerjakan.
Namun, semua itu haruslah ada balasan untuk seorang buruh yakni berupa upah atau gaji sebagai bentuk kompensasi karena telah menyelesaikan semua pekerjaannya dengan baik. Seiring berkembangnya jaman dan berkembangnya teknologi pendidikan, saat ini telah banyak pekerja modern yang memilki tenaga kerja dan kemampuan yang luar biasa sehingga mereka berhak menjual jasa atau kemampuannya dengan harga atau gaji setinggi mungkin.

Tetapi dalam islam ia tidak mutlak bebas untuk melakukan apa saja yang dikehendakinya dengan tenaga kerjanya itu. Ia tidak diperbolehkan melakukan pekerjaan pekerjaan yang tidak diizinkan oleh Syariat. 

Baik pekerja maupun majikan tidak boleh saling memeras. Semua tanggung jawab pekerja atau buruh tidak berakhir pada waktu seorang pekerja meninggalkan pabrik atau kantor majikannya. Ia mempunyai tanggung jawab moral untuk melindungi kepentingan yang sah, baik kepentingan para majikan maupun para pekerja. 

Sehingga dua-duanya sama mendapatkan keuntungan, seorang majikan bisa mencapai usahanya berkat seorang buruh atau pekerja, sedangkan seorang pekerja berhak mendapat balasan berupa upah atau gaji atas jasa mereka. Seorang pekerja berhak menerima upahnya ketika ia telah melakukan tugas-tugasnya dengan baik dan penuh tanggung jawab.

Dalam al-Mujam al-Wasit juga disebutkan standardisasi ijarah. Standar ijarah yang diterima pekerja adalah upah yang mencukupi si pegawai untuk hidup dengan kehidupan yang tenang dan nyaman. Lantas, bagaimanakah teknis membayarkan ijarah kepada karyawan dalam fikih Islam? Apakah boleh menunda atau melambatkan pemberian gaji?

Pembayaran ijarah adalah sesuatu yang harus disegerakan. Seorang majikan tidak boleh menunda atau melambat-lambatkan penunaian ijarah, padahal ia mampu membayarkannya dengan segera.

Hal ini berdalil dengan hadis dari Abdullah bin Umar RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering." (HR Ibnu Majah). Hadis sahih ini berupa perintah yang wajib ditunaikan para majikan. Haram hukumnya menangguhkan gaji pekerja tanpa alasan yang syar'i.
Pekerja yang dalam akad (kontrak kerja) digaji bulanan, maka di akhir bulan harus segera dibayarkan gajinya. Demikian juga pekerja harian, setelah selesai ia bekerja sehari itu, gajinya harus dibayarkan. Rasulullah SAW mengibaratkan jarak waktu pemberian upah dan selesainya pekerjaan dengan keringat. Jangan sampai keringatnya mengering, artinya sesegera mungkin setelah ia menyelesaikan pekerjaannya. Tidak menunggu esok, apalagi lusa.
Imam al-Munawi mengatakan, seorang majikan yang menunda pemberian gaji, berarti ia sudah melakukan kezaliman kepada pekerjanya. "Diharamkan menunda pemberian gaji, padahal ia mampu menunaikannya tepat waktu. Yang dimaksud memberikan gaji sebelum keringat si pekerja kering adalah ungkapan untuk menunjukkan diperintahkannya memberikan gaji setelah pekerjaan itu selesai ketika si pekerja meminta walau keringatnya tidak kering atau keringatnya telah kering," demikian disebutkan al Munawi dalam Faidhul Qodir (jilid 1: hal 718).
Imam al-Munawi berdalil dengan hadis Rasulullah SAW, "Menunda penunaian kewajiban (bagi yang mampu) termasuk kezaliman" (HR Bukhari Muslim).
Majikan yang suka menunda-nunda gaji para karyawannya sebenarnya mendapatkan ancaman serius dalam jinayah hukum Islam. Menurut al Munawi, majikan tersebut halal kehormatannya dan layak mendapatkan hukuman. Hal ini berdalil dengan hadis Rasulullah SAW, "Orang yang menunda kewajiban, halal kehormatan dan pantas mendapatkan hukuman." (HR Abu Daud, Nasa-i, Ibnu Majah).
Halal kehormatannya maksudnya ia termasuk dalam salah satu daftar orang yang boleh dibukakan aibnya kepada orang lain. Menunda penunaian gaji adalah salah satu bentuk kezaliman yang boleh dibeberkan tanpa perlu khawatir hal itu termasuk gibah (menggunjing orang lain).
Tidak hanya itu, jika majikan yang menunda pembayaran gaji karyawannya sudah pada tahap meresahkan, pihak berwenang bisa saja memberikan hukuman. Menurut al Munawi, ia bisa dihukum karena sikap menahan gaji adalah tindak kejahatan.
Banyak hal dilakukan pihak perusahaan untuk mengakali penunaian gaji para karyawannya. Perusahaan ingin agar gaji karyawannya bisa diundur dari waktu yang semestinya. Misalkan, gaji karyawan yang digaji secara bulanan, pembayarannya dilakukan di pertengahan bulan selanjutnya. Walau karyawan tetap menerima gaji setiap bulan, mereka tetap saja dizalimi. Hal ini juga tidak diperbolehkan.
Dalam Mausuah al-fiqh al-Islami (3:534) disebutkan, orang yang suka menahan ijarah atau malah memakannya, maka Allah akan menjadi musuhnya pada hari kiamat. Hal ini berdalil dengan hadis qudsi dari Abu Hurairah RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Allah SWT berfirman, 'Ada tiga jenis orang yag aku berperang melawan mereka pada hari kiamat, seseorang yang bersumpah atas namaku lalu mengingkarinya, seseorang yang berjualan orang merdeka lalu memakan (uang dari) harganya, dan seseorang yang memperkerjakan pekerja kemudian pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya namun tidak dibayar upahnya." (HR Bukhari).
Menurut Imam Hanafi, mensyaratkan mempercepat pembayaran upah sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Apabila dalam akad tersebut ada kesepakatan mempercepat pembayaran upah maka wajib dipenuhi setelah berakhirnya masa tersebut.
Yusuf Qardhawi mengatakan, sesungguhnya seorang pekerja hanya berhak atas upahnya jika ia telah menunaikan pekerjaannya dengan semestinya dan sesuai dengan kesepakatan, karena umat Islam terikat dengan syarat-syarat antar mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Dalam kata lain, buruh berhak atas upah setelah menunaikan pekerjaannya, dan pengsusaha wajib membayarkan upah tersebut.
Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia) pernah ditanya terkait kasus majikan yang menahan gaji para karyawannya. Dalam situs resminya, para ulama yang tergabung dalam Al Lajnah Ad Daimah tersebut mengecam tindakan tersebut.
Lantas bagaimana jika para karyawan ridha dengan sikap majikannya yang menahan pembayaran gaji? Hal ini juga pernah ditanyakan kepada Al Lajnah Ad Daimah Saudi Arabia. Penanya memaparkan kasus seorang majikan yang tidak mau memberikan upah kepada para pekerjanya (pembantu rumah tangga). Upah baru diberikan ketika pekerja tersebut akan pulang ke negerinya setelah setahun atau dua tahun. Namun, para pekerja tersebut ridha karena mereka tidak terlalu butuh untuk mendapatkan gaji setiap bulan.
Ulama Lajnah mengatakan, harus ada kejelasan akad antara pekerja dan majikannya. Jika mereka ridha pembayaran gaji dibayarkan setelah satu tahun atau ketika mereka akan pulang ke tanah airnya, hal ini tidak mengapa. Yang terpenting adalah kejelasan akad antara majikan dan pekerja agar di kemudian hari tidak ada yang dikecewakan. "Kaum Muslimin wajib mematuhi persyaratan yang telah mereka sepakati," jelas para ulama dalam fatwa Al Lajnah Ad Daimah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun