Mohon tunggu...
Alviyatun
Alviyatun Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - ATLM (Ahli Teknologi Laboratorium Medik) di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Blog : https://alviyatunyudi.blogspot.com/ Pesan : Proses belajar berjalan sepanjang hayat, proses sabar dan ikhlas menerima dan menjalani segala ketentuan Allah dengan ikkhtiyar yang optimal

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Malam-Malam Ramadhan yang Mengesankan

19 April 2021   21:52 Diperbarui: 19 April 2021   22:24 1938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: www.goodnewsfromindonesia.id

Sore itu umat muslim di dusun kami melakukan padusan. Padusan adalah satu kegiatan membersihkan diri atau mandi besar, keramas,membasuh seluruh tubuh dari kepala sampai kaki, yang dilakukan sehari sebelum datangnya bulan Ramadhan. Kegiatan ini dilakukan di rumah masing-masing. Tetapi ada juga yang pergi ke pantai Parangtritis, menghabiskan waktu di sana sepanjang sore hingga menjelang magrib, untuk selanjutnya juga mandi besar di rumah.

Tradisi padusan/bersuci ini sebenarnya adalah membersihkan diri (bagi wanita dan laki-laki yang sudah baligh) dari hadast besar  seperti haid, nifas, keluar mani, berhubungan badan antara suami dan istri hingga mengeluarkan mani. Tradisi ini dilakukan untuk mempersiapkan diri dalam melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Pada kenyataannya saat masa kecil dulu, padusan dilakukan oleh semua muslim laki dan perempuan dari anak-anak sampai orangtua, berhadas maupun tidak. Ibu menyuruh untuk mandi keramas sebelum melaksanakan puasa Ramadhan. Jadilah pesan itu ditaati sampai sekarang, meski tidak sedang selesai berhadast.

Keseruan itu berlanjut pada malam harinya, dengan berbondong-bondong ke langgar (semacam surau tapi di salah satu rumah penduduk) untuk melaksanakan sholat isya' dan tarawih. Dengan berbekal oncor sebagai penerang menuju ke langgar. Pada jaman dulu dusun kami belum memiliki masjid seperti sekarang. Salah satu warga yang memiliki emperan besar (ruang depan sebuah rumah) atau semacam pendopo merelakan untuk dipakai sebagai pengganti langgar. Pemilik rumah tersebut mbah Soma namanya, semoga Allah mengampuni segala dosa-dosanya, dan meridhoi amal kebaikannya selama di dunia.  

Sedangkan oncor

Saya, adik dan simbok juga mbah putri, melakukan sholat isya' dan tarawih di langgar tersebut. Sedangkan mbah kakung belum mau sholat sehingga tidak berangkat ke langgar. Namanya masih anak-anak, sholatnya tidak bisa khusyuk. Malah setelah sholat isya' bermain-main dengan teman-teman. Kadang-kadang ikut sholat tarawih lagi, kadang berhenti. Kami asyik memainkan kain jarik yang dipakai untuk pengganti mukena. Karena waktu itu belum ada rukuh/mukena untuk anak, tapi tetap pingin sholat. Karena salah satu syarat sahnya sholat adalah menutup aurat, jadilah kain jariknya simbah dipakai untuk mukena. Walaupun tidak bisa menutup aurat secara sempurna karena ujung tangan dan kaki masih suka kelihatan,juga kain tersebut amat ketat membungkus tubuh. Tetapi kami anak-anak perempuan dengan nyaman memakainya.

Apakah mereka tidak mengenakan hijab? Jawabnya tidak. Kaum perempuan di dusun kami waktu itu menutup aurat hanya saat sholat saja. Belum ada ustadz/ustadzah yang memberikan penjelasan atau pengetahuan tentang hijab. Padahal perintah Allah untuk menutup aurat telah tertulis dalam Alqur'an jauh sebelum simbah saya lahir. Betul kan? Bisa dibilang masa itu adalah masa jahiliyahnya kami. Karena untuk sholat saja masih sangat sulit, sehingga urusan berhijab jadi terabaikan.

Kembali ke langgar lagi ya, karena ada keseruan lain yang dinantikan anak-anak. Seusai jamaah melaksanakan sholat tarawih sebanyak 23 rokaat, kecuali anak-anak yang sukanya mengikut sholat witirnya saja, ada pembagian makanan ringan dan dinamakan jaburan.

Foto: nasi gurih (www.makanabis,com)
Foto: nasi gurih (www.makanabis,com)
Jaburan ini selalu diberikan seusai sholat tarawih. Dinamakan demikian karena makanan ringan tersebut dimakan secara bersama-sama, beramai-ramai. Mungkin waktu itu tujuannya adalah sebagai daya tarik supaya rajin berangkat ke langgar. Jaburan malam pertama berupa nasi gurih. Nasi gurih ini sebagai symbol rasa kesyukuran telah memasuki bulan Ramadhan. Nasi ini dibuat seperti memasak nasi putih dengan menambahkan santan, garam, daun salam. Penyajiannya dengan wadah daun pisang dalam bentuk takir, ditaburi dengan kacang tanah goreng, irisan kobis, 1 biji lombok, dan sesuwir ayam kampung. Sajian nasi gurih ini menjadi tradisi turun temurun hingga dua tahun yang lalu masih menjadi tradisi. Tepatnya Ramadhan tahun 1440 hijriah terakhir kalinya. Setelah pandemi Covid jaburan nasi gurih ini ditiadakan, karena kegiatan sholat tarawih di masjid pun waktu itu ditiadakan.

Pada malam-malam selanjutnya bentuk makanannya sangat sederhana tapi menyenangkan, karena sambil diisi guyonan atau pengajian ringan. Ada lempeng (semacam kerupuk dengan bahan baku nasi), roti kolmbeng, kacang goreng, dan lainnya. Setiap malam satu macam makanan yang murah meriah.

Setelah selesai jaburan, kami pulang dengan menyalakan kembali oncor masing-masing. Oncor/obor ini terbuat dari potongan bambu yang di dalamnya diisi minyak tanah, dengan sumbu dari serat kulit buah kelapa (sepet). Oncor ini menjadi penerangan utama di luar rumah saat malam hari yang gelap gulita karena masih jauhnya cahaya listrik dari dusun kami.

Untuk penerangan di langgar pun menggunakan lampu Petromaks yang sumber lampunya menggunakan kaus lampu dengan bahan bakar minyak tanah. Lampu yang konon berasal dari Jerman ini diciptakan pertama kali oleh Max Graetz dan dipatenkan pada 5 November 1910. Lampu berbahan bakar minyak tanah ini dipompa sampai kaus lampunya menyala.( https://www.kaskus.co.id/thread/5371abd1fcca17290f00023a/sejarah-lampu-petromax).

Walaupun lampu Petromaks ini sangat popular pada waktu dulu, tetapi tidak setiap rumah memiliki. Dan hanya digunakan pada acara-acara tertentu saja, karena mahalnya harga minyak tanah waktu itu, sedangkan ekonomi rakyat belum sepenuhnya membaik dan stabil. Pinjam meminjam lampu Petromaks antar tetangga adalah hal sangat lazim.

Kembali mengenang kondisi langgar yang tak semewah dan sebagus bangunan masjid pada zaman sekarang, dengan lantai yang hanya dengan campuran semen yang sangat sedikit, hingga rupa lantai tak secantik lantai keramik. Beberapa bagian lantai pun telah rusak dan permukaan menjadi tak rata. Tetapi kami tetap semangat untuk menunaikan ibadah sholat tarawih. Walaupun pada kenyataannya hanya senang berkumpul dengan teman-teman. Ups...

Ya, begitulah...kami anak-anak dusun jauh dari kota, tanpa penerangan listrik sama sekali, di rumah pun hanya lampu gelek (lampu sumbu minyak tanah) yang kecil, hingga hanya remang-remang saja. Penerangan alami yang sangat dinanti adalah pada saat bulan purnama, kami keluar rumah untuk bermain-main dengan teman sebaya. Tak ada rasa takut, atau khawatir dari orang tua anaknya akan salah pergaulan, karena kami hanya bermain di depan rumah yang pepohonan masih rindang dan rimbun, mendukung sekali untuk bermain petak umpet. Membahagiakan sekali. Ah jadi kangen pingin mengulang kembali...

Seminggu sekali kami mengaji belajar membaca huruf hijaiyah ke rumah tetangga. Beliau adalah cucu dari mbah Soma pemilik langgar, semoga Allah merahmatinya, aamiin. Methode membaca huruf hijaiyah metode lama, alif fathah a, alif kasrah I, alif dhomah u, dibaca a i u...ba' fathah ba, ba' kasrah bi, ba'dhomah bu, dibaca ba bi bu...dan seterusnya.

Kegiatan sholat fardhu di langar pun belum ada, karena adzan pun tidak pernah terdengar dari langar. Pada waktu itu di langar belum ada soundsistem, sehingga tanda berbuka hanya kami dengar dari Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta. Jika suara sirine di radio sudah terdengar, maka kami menyegerakan untuk berbuka.

Demikian pula saat menanti imsyak kami juga mengandalkan kode dari radio, yang selalu menyuguhkan hiburan lahu-lagu yang asyik saat menunggu imsyak.

Kegiatan Ramadhan kala itu tidak sebanyak masa-masa sekarang. Tetapi mendekati minggu terakhir, ada kegiatan pembagian zakat fitrah bagi yang mampu. Pembagian ini dilakukan oleh massing-masing rumah tangga yang mampu, tidak dikoordinir oleh takmir atau panitia. Masing-masing rumah tangga membagikan sendiri zakat fitrahnya kepada yang berhak menerima. Sebagai anak pertama saya kebagian membagikan zakat ke tetangga.

Menjelang hari raya idul fitri, seluruh warga dusun, yang sudah melakukan sholat fardhu secara rutin maupun yang belum melakukan, berkumpul di langgar ikut melaksanakan sholat idul fitri. Kebahagiaan itu kami rasakan bersama, dari anak-anak, remaja, dewasa, orangtua, para sesepuh laki dan perempuan.

Sebagai anak-anak apalagi, bahagia banget karena salah satu pemuka agama (mbah kaum) di dusun kami selalu membagikan uang kepada anak-anak. Walaupun hanya 100 sampai 200 rupiah per anak, tapi nilainya bagi kami sangat besar. Semoga Allah merahmati beliau dan menempatkan di tempat terbaik di sisiNya. Aamiin.

Demikian sekelumit nostalgia masa kecil saat Ramadhan.

Bantul, 19 April 2021

Salam,

Alviyatun

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun