Mohon tunggu...
alvin yesaya
alvin yesaya Mohon Tunggu... Freelancer - Pengamat Kemaritiman, pendidikan, dan literatur. Coastal Engineer

Pengamat Kemaritiman, pendidikan, dan literatur. Coastal Engineer. Jalasveva Jayamahe

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sanggupkah Nadhiem Menghapus UN dan Mereformasi Sistem Pendidikan?

22 Desember 2019   19:04 Diperbarui: 22 Desember 2019   19:16 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Performa Indonesia berdasarkan PISA

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadhiem, menginisiasi penghapusan UN di tahun 2021 mendatang seperti dilansir dilaman kompas

Menurut mantan CEO gojek tersebut, UN akan diganti menjadi assessment kompetensi minimum yang berisi tentang numerasi dan literasi dan survei karakter. UN dianggap tidak lagi relevan dengan Pendidikan di abad 21. Menurut data dari PISA yang dilakukan oleh negara anggota OECD, Indonesia menempati ranking jauh di bawah rata-rata negara OECD dalam hal membaca, matermatika, dan sains. Lebih parahnya, performa Indonesia justru menurun dibandingkan di tahun 2009.

 Terlepas dari perdebatan tentang biasnya metode yang digunakan oleh survei PISA, Menteri Pendidikan Indonesia berinisiatif untuk meningkatkan numerasi dan literasi terhadap sistem Pendidikan Indonesia. Lalu apakah dengan wacana menghapus UN dapat mencapai tujuan tersebut?

Sebagai generasi yang mengalami langsung UN sebagai syarat kelulusan, UN memang sebaiknya dihapus karena tidak menggambarkan kemampuan siswa selama 3 tahun dalam waktu 1 minggu dan beberapa soal pilihan ganda. Karena saya tinggal di kota besar, mungkin UN bukanlah merupakan hal yang sulit. Hanya bagi mereka yang tidak mendapatkan akses pendidikan yang layak, UN menjadi momok yang menghantui bagi siswa untuk dapat ke jenjang berikutnya. Praktik-praktik kecurangan dan hingga kejadian bunuh diri pun selalu menghiasi laman berita dahulu. Meskipun sekarang UN bukan satu-satunya penentu kelulusan, beberapa siswa tetap merasa tertekan karena UN menjadi syarat untuk mendapatkan sekolah impian.

Beberapa berpendapat bahwa UN dibutuhkan oleh pemerintah untuk menjadi batas acuan kemampuan siswa di Indonesia. Penyeragaman dan perataan kemampuan dianggap penting sehingga UN dapat dijadikan sebagai standardisasi nasional sehingga diharapkan lulusan mencapai tingkat tertentu dan UN merupakan indikator paling sederhana untuk mengukur kemampuan siswa.

Lantas apakah penyeragaman siswa harus diukur berdasarkan ujian kompetensi semata? Tentu saja di jaman sekarnag yang serba cepat, kompetensi tidaklah bisa menjadi satu-satunya parameter "kepintaran" siswa. Talenta siswa bisa berbeda-beda tidak hanya di bidang akademik, tetapi juga di bidang seni dan kreatif lainnya. Belum lagi budaya menghafal yang melekat dan kurangnya budaya berpikir kritis yang masih melekat di sistem pendidikan Indonesia.

Lantas apakah rencana Nadhiem untuk mereformasi sistem pendidikan ini dapat terwujud? Impian Pak Menteri ini sepertinya sulit diwujudkan mengingat "guru" menjadi kunci kesuksesan programnya. Kesenjangan yang rendah membuat profesi "guru" dan dianggap profesi "miskin" ini seakan-akan dianaktirikan. Bagaimana mungkin dengan gaji yang rendah guru dituntut untuk mengamati satu per satu potensi siswa?

Selain itu guru juga dituntut harus selalu up to date karena siswa saat ini lebih pintar dan dapat mengakses jutaan informasi di internet. Di sisi, guru juga merasa nyaman dengan sistem pendidikan kuno ini karena sudah terbiasa dan tidak ada keinginan untuk belajar sesuatu yang baru. Guru-guru yang sudah "tua" pun sulit untuk menggunakan teknologi informasi karena kurangnya pelatihan oleh pemerintah.

UN adalah cara paling mudah dan tidak membuat guru menjadi repot karena semua diukur hanya beradasarkan pilihan ganda dan dikoreksi oleh LJK dengan cepat. Bayangkan apabila mengukur kelulusan berdasarkan karya siswa yang berbeda-beda setiap individu dan memberikan komen di setiap kegiatan siswa.

Untuk hal ini guru perlu mengetahui setiap siswa agar dapat melihat perkembangannya dengan baik. Apabila satu kelas hanya sekitar 20 siswa mungkin cukup, lalu bagaimana dengan satu kelas yang dapat mencapai 40-50 siswa?

Bahkan mungkin nama siswanya pun tidak dapat diingat. Selain itu guru sekolah juga butuh menghidupi kehidupannya selepas sekolah dengan menjadi pengajar bimbel atau privat karena kurangnya insentif gaji yang diterima

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun