Mohon tunggu...
Alvin Faiz
Alvin Faiz Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Bermain game

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penyesalan yang Terlambat

28 November 2024   05:31 Diperbarui: 28 November 2024   07:52 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Damar jangan kerasa kepala lagi nak"
Ujar ibu dari anak yang bernama Damar. Ia dikenal sebagai orang yang keras kepala, suka berbicara tanpa berpikir, dan sering membuat keputusan terburu-buru. Damar tidak pernah mendengarkan nasihat orang lain, bahkan ketika ibunya, yang sudah tua, sering mengingatkan tentang pentingnya sabar dan berpikir matang.
Di pagi hari Damar bertengkar dengan sahabat karibnya, Budi. Mereka bertengkar tentang suatu hal yang sepele, namun emosi Damar yang meledak-ledak membuatnya mengambil keputusan yang bodoh. Ia memutuskan untuk meninggalkan desa dan mencari hidup baru di kota. "Aku tidak butuh siapa pun! Aku bisa hidup sendiri!" teriaknya pada Budi, yang hanya bisa memandang dengan rasa bingung.

Waktu berlalu. Damar yang dulu penuh percaya diri, kini merasa terasing di kota besar. Pekerjaannya tidak seperti yang ia bayangkan. Kota yang gemerlap ternyata penuh dengan kesepian. Ia merindukan kehidupan desa yang sederhana, suara alam yang menenangkan, dan wajah ibu yang selalu memberinya senyuman penuh kasih.

Hari demi hari, Damar semakin merasa kesepian. Ia mencoba untuk menghubungi Budi, tapi nomor telepon sahabatnya sudah tidak aktif lagi. Ia pun mengingat kembali setiap kata-kata Budi yang pernah menasihatinya, namun kini semua itu sudah terlambat.

Satu pagi, Damar menerima kabar dari seorang tetangga lama di desa. Ibunya telah meninggal dunia. "Ibu sudah lama menunggu kepulanganmu, Damar," ujar tetangga itu dengan suara penuh haru. Damar terdiam, hatinya hancur. Penyesalan mengalir deras di hatinya. Ia merasa telah meninggalkan orang yang paling berarti dalam hidupnya, hanya karena kesombongan dan amarah yang tak terkendali.

Damar segera pulang ke desa, meski terlambat. Ia tiba di rumah yang kini kosong, hanya meninggalkan kenangan. Di sana, di ruang tamu yang sederhana, ia menemukan foto ibunya yang tersenyum dengan lembut. Air mata Damar jatuh. Betapa ia merindukan sentuhan kasih ibunya yang kini telah tiada.

Damar duduk di samping foto itu, merasa penyesalan yang tak terobati. "Ibu, maafkan aku. Aku tidak tahu apa yang telah kulakukan," bisiknya dalam hati. Ia tahu, penyesalan ini akan selalu mengiringinya. Namun, yang ia pelajari adalah bahwa waktu tidak bisa diputar kembali. Keputusan yang telah ia buat membawa dampak yang tak akan pernah bisa diperbaiki.

Hari itu, Damar berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi membuat keputusan terburu-buru, untuk lebih menghargai orang-orang yang ia cintai, dan untuk tidak pernah melupakan nilai-nilai kehidupan yang sederhana, yang telah diajarkan oleh ibunya.

Namun, meski penyesalan itu datang terlambat, Damar tahu, ia masih bisa memperbaiki dirinya. Sebab, meskipun ia tak bisa kembali ke masa lalu, ia bisa membentuk masa depannya dengan lebih bijak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun