(Tulisan ini hadir karena teman sekosan saya lagi sering curhat tentang nasibnya yang tak kunjung menemukan tambatan hati atau gagal di tengah perjuangan)
Kadang kita ingin menjadi seperti.....
Awan dan hujan yang saling menaungi, tetapi lupa hakikatnya kita saling menghilangkan
Api dan arang yang saling memberikan kehangatan, tetapi lupa kelak kita hanya menjadi abu berterbangan
Lumut dan tanah yang saling mengasihi, tetapi lupa kelak kita akan lapuk oleh kejamnya waktu
Bumi dan matahari yang saling merindu, tetapi lupa sekali kita bertemu sudah berarti itu mati
Hari ini beberapa teman saya ada yang senang dengan gebetan, ada yang sumringah  karena akhirnya berkeluarga, dan juga gundah gulana akibat cinta tak kunjung datang jua. Alhasil saya yang sedang gabut dengan problematika dan drama perkuliahan kembali merefleksikan relevansi makna cinta di era revolusi digital yang serba "4.0" ini.  Pemaknaan cinta lewat beragam studi  mengasilkan makna yang beragam baik dari segi psikologi, sosial, hingga neurosains. Maka dalam hal ini kita akan sedikit membahas cinta dari beberapa sisi dan memasukkan unsur logika di dalamnya.
Teori Cinta Segitiga Sternberg
Membicarakan permasalahan cinta secara ilmiah ada baiknya kita menilik sejenak makna "cinta" dari seorang ahli psikologi Amerika, Robert J. Sternberg dalam Teori Cinta Sternberg.
Sternberg membagi segitiga cinta yang terdiri atas : Intimacy (Keintiman), Passion (Hasrat), dan Commitment (Komitmen). Setiap komponen tersebut saling berinterraksi danÂ
Â