Mohon tunggu...
Alvi Anugerah
Alvi Anugerah Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis jika sedang menggebu-gebu

Humaniora Universal.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Melankoli Warung Kopi

22 September 2015   13:31 Diperbarui: 22 September 2015   14:56 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir-akhir ini Robi sering bertutur hal-hal absurd pada saya. Semenjak kami  bareng menjalani shift malam satu pekan ini, Robi sesekali mendadak sok misterius. Ia bercerita kalau tiap naik lantai empat untuk mematikan lampu-lampu ruangan kerja karyawan, ada satu lampu di paling ujung kiri yang kerap berkedip-kedip, padahal baru saja Robi matikan saklar lampunya.  Saya yang diancam penasaran mencoba mengeceknya sendiri keesokan hari. Ternyata tak seperti yang Robi bilang. Lampu tetap mati normal, tak centil berkedip-kedip pada saya.

Saya masih anggap hal itu wajar karena Robi adalah satpam baru di sini. Meski sudah empat bulan bertugas, baru kali ini ia dapat giliran shift malam. Semaskulin-maskulinnya satpam, kalau dia satpam baru, pasti ada rasa pengecut-pengecutnya juga. Seperti yang yang saya rasakan empat tahun lalu ketika menjadi satpam baru. Selalu setiap saya melewati toilet belakang lantai satu itu, saya mendengar tangisan. Halah. Klise. Saya tak takut sama sekali. Itulah normalnya setan. Menakuti-nakuti manusia dengan cara menangis. Karenanya, selalu setiap saya lewati toilet itu dan mendengar senandung tangis, saya selalu balas dengan sunggingan senyum sinis sembari berujar: sssttt!

Empat hari berpatroli melewati toilet itu, empat kali juga suara itu berikhtiar menakuti saya. Empat kali juga suara itu gagal menakuti saya.  Begitu masuk hari kelima, entah kenapa, mendengar suara itu, saya merasa iba....

Suara tangis yang keluar tak lagi terdengar seperti suara kuntilanak yang menakuti manusia. Suara itu lebih terdengar wanita yang meminta iba. Wanita itu terdengar seperti menangisi kenangan. Samar-samar ia bergumam sesuatu. Seperti menyebut-nyebut nama pasangannya yang nampaknya telah tiada. Kenapa saya menjadi sebegini peka, ya?

Meskipun empat tahun berlalu, jika suara itu hadir lagi di ke hadapan telinga, niscaya saya masih hapal betul dan dengan mudah merasa familiarnya!

Mari kembali menceritakan Robi....

Tidak hanya sok mistis dan misterius. Begitu malam mendarat di kepala dan purnama yang tengah bulat-bulatnya, Robi kerap mengidap melankoli. Ia ujug-ujug bertingkah laku tak ubahnya penyair. Menggumamkan syair-syair dari buku-buku puisi kepunyaan saya. Saya acapkali kesal karena pasti dia menyindir saya. Sebab ia pernah bicara pada saya: “Satpam sedunia ini yang suka sok-sokan puitis kayaknya Lu doang dah. Gak pantes bego! Lucu liatnya. Satpam tapi bacaannya buku puisi Chairil Anwar, mau jadi kayak Rangga, lu?” begitu sergahnya lantas ia tutup dengan ketawa membahana.

Saya juga heran kenapa saya suka puisi. Tapi saya tak pernah berani menulis puisi. Kenapa, ya? Apa semata karena sikap inferior saya? Seorang satpam terlihat tak elok begitu rasanya menulis puisi. Puisi hanya milik mereka orang-orang yang jago mencampur baur kata. Puisi hanya punya mereka orang-orang yang ingin merayu pasangannya. Puisi yang saya lihat hanya milik segelintir kalangan yang sedih dirundung kenangan. Saya melihat puisi hanya layak ditulis oleh seorang yang kerap menciptakan sekawanan air mata. Ah, entahlah.....

Robi sekonyong-konyong bicara: “Aku kangen, tapi entah dengan siapa....”. Mendengar baris ucapnya itu, sontak saya tertawa. Seorang Robi, anak tulen betawi yang tak lancar bicara bahasa Indonesia baku, tiba-tiba berkata seperti itu.Tawa saya tak bisa lama sebab Robi dengan cepat mencegahnya dengan ucapan: “Serius. Gue gak bercanda. Nape ya ini malem rasanya kangeeeeen banget, rindu gitu. Sedih banget.”

“Kangen sama siapa?” saya meresponnya sembari berniat serius membuka obrolan malam ini.

“Nah, itu die tong. Gua bingung. Gua masa enggak tau gua kangen siapa? Gue enggak tau kenangan apa yang bikin gue sedih. Tapi emang itu yang gue rasain sekarang,” Robi menjawab saya dengan tatapan yang mulai sedih. Eh, ternyata benar. Matanya tak bisa berlaku dusta. Robi mulai terlihat sedih. Semakin sedih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun