Mohon tunggu...
Aluzar Azhar
Aluzar Azhar Mohon Tunggu... Freelancer - Penyuluh Agama Honorer

Berbuat baik kok malu, jadi weh ...

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Bagur*

17 Januari 2018   02:58 Diperbarui: 17 Januari 2018   07:20 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengapa Ayah namaiku "Bagur"? Ayah tidak langsung menjawab; paling dari album foto kumal yang terselip paling pojok di lemari ruang tamu, paling dari beberapa kesempatan cerita beliau di masa muda, paling dari Ibu, paling dari beberapa orang tua yang mendadak mengenalkan diri sebagai teman Ayah; dan Ayah tidak akan pernah sempat menjawab.

Dari sekolah, aku mulai tahu perihal situasi tahun-tahun ketika aku lahir. Meskipun bingung juga, di pelajaran Sejarah kok  ada revisi. Sempat bingung mana pahlawan, mana pengkhianat. Tapi kini ngeuh, sejarah bisa ditulis oleh siapa saja.

Seperti bulan kemarin, yang konon pengkhianat wafat. Anehnya media massa mengabarkan ribuan mungkin jutaan orang bangsa ini menangis. Terus dua windu kemarin, yang konon pahlawan negeri meninggal. Tapi aku menyaksikan, dia wariskan banyak kerajaan. Padahal setahuku, negeriku bukan monarki.

Dari album foto kumal itu, aku seperti diajak bertamasya oleh Ayah. Dari tahun 1950-an, 1960-an, ke 1970-an. Asyik, naik ontel, DKW, dan motor cungkring  yang pakai kopling itu. Sayang, foto-foto itu semakin lamur karena kertasnya mengelupas. Padahal Ayah gagah ketika pakai seragam Menwa (Resimen Mahasiswa). Kulihat beberapa fotonya ketika latihan ala militer. Mungkin ini yang menginspirasi adiknya menjadi tentara.

Dari Ibu, aku hanya tahu sedikit bahwa Ayah ialah guru ngajinya. Justru dari para orang tua yang tak kukenal siapa, aku jadi banyak tahu soal Ayah. Serius, kalau kumanfaatkan, aku bisa apa saja. Aku bisa masuk ke gedung itu. Aku bisa pakai fasilitas lembaga itu. Aku bisa jadi pengurus ini-itu.

Untunglah ada sebuah novel yang menginspirasi dan kupelesetkan: Di Bawah Ketiak Ayah. Ini yang tidak aku suka, dan aku yakin Ayah tidak mau aku cengeng dalam hidup. Ayah marah besar kalau aku 'mudah' dalam memperoleh segala.

Penyanyi balada negeri ini pun senasib denganku, bedanya dia keukeuh ngotot:  Mereka lari ke ketiak ibunya/ Ku tak peduli marah menjadi// Mereka lari ke meja bapaknya/ Aku tak sanggup tenagaku habis terkuras ... ("Air Mata Api").

Ya, aku akan menangis jika dicintai, tetapi aku akan meraksasa jika disakiti!

Jatah hidupku semakin berkurang. Definisi-definisi hidup mulai terangkum. Media massa sangat berjasa padaku. Khususnya media massa cetak, sangat sesuai dengan 'kutukan' Ayah. Aku dipersulit, tapi Tuhan mempermudah via Mark Zuckerberg.

Televisilah yang mengenalkan aku dengan sosokku. Era 1970-an. Ayah pernah mengajak aku ke toko mainan. Aku lupa karena apa Ayah beri hadiah itu--ini cara didik Ayah jika anak-anaknya berprestasi. Di antara ribuan macam dan jenis mainan, aku memilih "Hulk".

Hanya dari plastik. Seingatku, dimensinya: tinggi 15 cm, lebar 7 cm. Dengan posisi siap mukul  dan pasang wajah--biasa--bengis. Mainan itu sudah kuestafetkan ke adikku (semoga tidak hilang, plis!). Hollywood suka-cita mempermak aku. Sejak Bill Bixby, Eric Bana, hingga aktor Marvel kiwari, semuanya kutonton di tipi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun