Selasar Malioboro  antara bisnis dan ruang sosial budaya yang hilang
Sungguh bulan Januari hingga awal Februari ini ada kesibukan sendiri di pusat ibukota budaya Yogyakarta.
Gawe besar yang sesungguhnya membuat menjerit para pedagang PKL di sepanjang Malioboro.
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga setelah hampir dua tahun terseok dalam mencari nafkah karena pandemi covid 19 para pedagang di haruskan untuk pindah dengan limit waktu satu atau dua hari masa tenggat untuk pindahan.
Pindah di bekas tempat dinas pariwisata dan bekas bioskop indra adalah keharusan mutlak untuk goal Malioboro sebagai wilayah pedestrian 100% kelak adanya.
Jer basuki mawa bea hampir 2.000 PKL harus pindah itu wajib karena walaupun sebagian sukarela namun banyak juga yang njola menanyakan mengapa harus dipindah secepat itu.
Proyek revitalisasi Malioboro nampaknya seturut selaras dengan revitalisasi bangunan heritage antara keraton dan tugu jogja yang didalamnya ada Malioboro yang kelak hanya kendaraan tidak bermotor yang boleh jalan disitu serta trans Jogja logis adanya.
Mengembalikan seperti adanya dan tujuan selasar kembali kepada pemilik toko yang bersangkutan dan fungsi sosial budaya interaksi seniman dan penikmatnya.
Khayalan yang tergerus arus bisnis karena tampaknya pengembalian jati diri ini karena dulu tingkat komersilnya sebuah lapak PKL adalah bukan rahasia umum lagi buat kita.