Mohon tunggu...
Sayyid Jumianto
Sayyid Jumianto Mohon Tunggu... Guru - Menjadi orang biasa yang menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis untuk perubahan yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jejak Bapak, 1965: Idealisme Itu (03)

1 September 2021   11:45 Diperbarui: 1 September 2021   12:15 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jejak Bapak, 1965 : Idealisme  itu (03)

Sayyid jumianto

Sungguh semua ada karena tanggung jawab bapak sebagai kepala keluarga kami. Tahun 1960a adalah tahun sulit bagi negeri ini gencetan masalah ekonomi dan perubahan panggung politik yang sedikit banyak pengaruhi kehidupan sosial ekonomi kami sekeluarga.

 "Semua harus diperjuangkan"kata bapak waktu kami sore itu makan bersama. Sedikit rayakan keberhasilan bapak menjual satu lukisan yang itu saja harus lewat seorang perantara untuk sampai kepada orang kaya yang melihat lukisan bapak di sanggar lukis tempat bapak bernaung. 

Agak sedikit makan enak karena bapak belikan kami sate ayam cak dul depan terminal lama yang laris. 'Memperjuangkan asa itu harus dimulai dari niat " kata bapak lagi. Itulah percakapan bapak ketika selo dan tidak sibuk di sanggar lukisnya bersama-sama beberapa orang yang aku tahu teman bapak itu orang-orang dari partai komunis kala itu. 

Ibu sebenarnya sudah ingatkan bahwa  tentang ini tetapi bapak kekueh punya prinsip sendiri. "Apakah harus saya ikutin ideologi mereka?" Tanya bapak ketika ibu coba menanyakan tentang sanggar yang bapak ikuti itu. 

Kami hanya mendengar bahwa organisasi ini mempunyai kekuatan tersendiri untuk nego hasil karya mereka dan untuk bahan atau alat juga mensuport mereka yang ada di sanggar ini. Walau kadang aku tahu bapak beli sendiri juga kanvas dengan catnya secara mandiri.

Semula aku tak yakin seorang seniman lukis bisa jadi singa politik untuk kritisi pemerintah, aku tidak menduga itu.

 Coretan dan mural di tengah kota seakan mereka berkata untuk perjuangkan nasib rakyat yang tidak menentu ekonominya

"Apakah harus sang pandai besi jadi besi dulu untuk buat parang dan sabit?" Idealisme bapak inilah yang sungguh aku baru tahu. 

"Apakah orang-orang Jakarta sana beri makan kita?"kata bapak lagi pada kami. Benar adanya PKI tumbuh subur bahkan jadi partai politik pemenang ke empat semakin banyak pengikutnya karena PKI tahu kemiskinan dan ketidak percayaan kepada pemerintah serta ketimpangan kaya miskin jadi penentu banyaknya pengikutnya saat itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun