Mohon tunggu...
Sayyid Jumianto
Sayyid Jumianto Mohon Tunggu... Guru - Menjadi orang biasa yang menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis untuk perubahan yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Fenomena Pilkada 2018

28 Juni 2018   19:53 Diperbarui: 28 Juni 2018   20:08 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Ironi Kotak kosong menang dan  pertarungan partai berbasis Islam vs Nasionalis

Alsayyid jumianto

Setelah membaca dan menelalah dari berbagai survaei di koran dan media massa berbasis elektronik maka  harus kita sadari bahwa pilkada serentak dengan 171 daerah menjalankannya ( pilkada gubernur, walikota, dan bupati) sebagai penanda bahwa "demokrasi reformasi" semakin matang dan "gentle" dalam menerima kekalahan dan kemenangan lawan, walau berdasarkan "quick count" dan hitung cepat inilah "sedikit kedewasaan" dalam berdemokrasi di negeri ini sejak reformasi 1998 dua puluh tahun lalu.

Tiga daeraha di  pulau jawa seakan  menandakan kelak pertarungan di tahun 2019  pemilu raya presiden, parlemen dan DPD seakan menjadikan kita harus "sadar'  dari tidur panjang kita,  palagi sekarang "kotak kosong" menang ini pertanda apa? 

Dan jungkir baliknya survai sebelum laga pilkada dansetelah ternyata beda jauh dari predeksi dan pemili antara sang incumbent dan penantangnya adalah nyata, karena bukan sebuah rahasia "konon" survaei sebelum pemilu adalah"pesanan" adalah kenyataan yang tidak bisa kita rahasiakan lagi.

Kalah menang adalah nyata dan menerima dengan jiwa besar adalah harus inilah fenomena besar yang harus di hidupkan kelak dalam pemilu raya 2019  dan harus apalagi inilah Indonesia dengan segala kebebasan dalam menentukan pemimpinnya di daerah.

Ironi kotak kosong yang menang

Inilah jawaban demokrasi kita ataukah seorang calon tunggal itu sebuah kenyataan tidak disukai rakyatnya walau berpuluh  partai menyokongnya?"

Jawabannya tidak karena situasional dan satu kenapa kita mempersulit calon independent karena  partai tidak" mulai" tidak disukai lagi oleh sebagaian rakyat pemilihnya, inilah yang harus di carikan jawaban cerdasnya kelak lima tahun yang akan datang atau menjelang pemilu raya 2019 kelak, saya mohon permudahlah calon independent dalam ikut pilkada inilah jawaban yang harus di cari  untuk pemegang kuasa di Pusat kelak.

Apakah ini kemenangan golput?

Bukan jawabannya karena golput ternyata spontan dan karena sistem, bagaimana  banyaknya orang yang di luar negeri  jadi pekerja dan TKI tidak dapat mencoblos karena pekerjaan mereka dan tidak dapat cuti karena perusahaan mereka tidak mau memberi cuti padahal sudah di jadikan hari libur nasional inilah kenyataan yang membuat orang kadang"bersifat apatis" pada pilkada adalah nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun