Mohon tunggu...
Andy Laksmana Sastrahadijaya
Andy Laksmana Sastrahadijaya Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pengamat masalah kemanusiaan dan spiritualitas.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Rasionalitas dan Rasionalisasi: Bagian Pertama—Kepercayaan dan Keimanan

25 Juli 2013   17:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:02 1097
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh: Andy Laksmana Sastrahadijaya

Dalam artikel yang tertayang pada tanggal 13 Juli 2013 ini, saya secara umum membicarakan masalah psikologis yang dialami oleh orang beriman berspektrum kecerdasan rendah (SKR) dan menengah (SKRT) yang biasanya tidak menimpa orang beriman berspektrum kecerdasan tinggi (SKT) karena kemampuan mereka memanfaatkan kecerdasan terpadu dalam menghayati hidup di dunia ini. Artikel serial kali ini akan menelusuri rasionalitas sebagian kecil orang beriman yang menjadi SKT dan rasionalisasi yang selalu dipakai oleh sebagian besar orang beriman yang menyandang gelar SKR dan SKRT. Kita secara ringkas juga akan membahas cara berpikir, berperilaku, bersikap, dan bertindak masing-masing golongan orang beriman ini dalam menanggapi masalah kepercayaan yang sama. Kepercayaan, sebagaimana yang dibatasi dalam KBBI, adalah anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yg dipercayai itu benar atau nyata. Kepercayaan bagi orang yang rasional jelas memerlukan bukti (sesuatu yg menyatakan kebenaran suatu peristiwa) selama bukti itu masih mungkin diperoleh. Artinya, mereka akan mengubah kepercayaan itu menjadi pengetahuan (segala sesuatu yg diketahui) atau kebenaran/kenyataan yang terbukti. Misalnya, seseorang menderita batuk akut yang tidak mempan hanya dengan diobati dengan sejenis obat pereda batuk yang dibelinya di warung tetangga, yang semula dipercayainya mampu menyingkirkan batuk itu dari dirinya, meskipun ia telah menghabiskan tiga botol obat itu. Kepercayaan terhadap obat batuk merek tertentu itu memerlukan bukti nyata berupa kesembuhan dari batuk akutnya. Nah, orang itu dapat mengambil beberapa tindakan: meneruskan pengobatan dengan obat tersebut atas dasar kepercayaan penuh karena istri dan ayah-bundanya dulu mengalami batuk akut yang sama dan ternyata dengan mengonsumsi sebotol saja mereka sudah sembuh. Atau ia dapat menggantinya dengan obat lain dengan bertanya-tanya kepada penjual yang lebih ‘mengerti’, yakni apoteker atau asistennya di apotik terdekat. Atau ia segera pergi ke dokter memeriksakan dirinya. Katakanlah ia memilih pergi memeriksakan diri ke dokter terdekat dan setelah diperiksa dengan teliti, dokter meresepkan obat batuk racikan. Oh, ternyata dalam beberapa jam saja batuknya telah mereda, dan ia sembuh total pada keesokan harinya. Jelaslah bahwa masing-masing tindakan itu membawa konsekuensinya sendiri-sendiri, dan tentu saja kejadian orang menderita batuk akut hanyalah sekedar contoh fiktif untuk menggambarkan tindakan sederhana sehari-hari atas dasar rasionalitas dan tindakan atas dasar rasionalisasi kepercayaan.

Marilah kita melihat perbedaan cara berpikir, berperilaku, dan bertindak SKT dan SKR/SKRT dalam menghadapi hal sederhana seperti contoh batuk akut tersebut di atas. SKT jelas akan berusaha menranformasikan kepercayaannya terhadap obat batuk merek tertentu itu menjadi pengetahuan yang dapat dibuktikan dengan cara mengamati, memakai rasionalitas atau logika berpikir, meragukan, memertanyakan, dan mengujinya secara langsung pada dirinya sendiri. Bagaikan dokter, ia akan terlebih dulu menyelidiki apa yang sebenarnya dialami dan dirasakan oleh istrinya ketika mengalami batuk akut yang sama dan mengamati keadaannya sendiri dan membandingkan keduanya untuk menemukan berbagai faktor penyebab yang membedakan mengapa dengan obat yang persis sama, istrinya mengalami kesembuhan dan dirinya tidak. Ia pun tidak lupa mencari informasi tambahan mengenai segala sesuatu yang bersangkutan dengan gejala batuk dan pengobatannya di internet, berkonsultasi dengan dokter yang memeriksanya mengenai penyebab dan upaya pencegahannya agar penyakit itu tidak menyerangnya lagi kelak, bertanya-tanya kepada temannya yang ahli farmasi, dsb., dst. Singkatnya, ia memakai rasionalitasnya untuk menyelidiki, jelas dengan dibantu oleh kemampuan bawaan yang lainnya: ketajaman panca indera, daya rasa, dan intuisinya (jika telah berfungsi dengan memadai).Lalu, dalam menghadapi kasus yang persis sama, bagaimana cara berpikir, berperilaku, dan bertindak SKR (dan sebagian SKRT)? Alih-alih memakai rasionalitasnya untuk menyelidiki sehingga dapat menemukan kebenaran yang akan menyembuhkan batuknya, ia memakai rasionalisasi atau berdalih ke sana-sini untuk membenarkan kepercayaan mereka semula. Ia percaya bahwa obat tradisional tertentu (obat pereda batuk lama) yang manjur bagi istri, bapak, ibu, anak-anak, kakek, neneknya PASTI manjur bagi dirinya. Lah wong gejala batuknya sama, kok. Begitu mungkin pikirnya. Ia bisa saja melakukan rasionalisasi melalui penyalahatribusian, misalnya karena ia biasanya makan sepiring penuh nasi dan istrinya hanya seperempat piring nasi (karena ingin melakukan diet, misalnya), ia lalu mengambil kesimpulan keliru bahwa ia mesti menenggak obat batuk itu empat kali dosis yang diminum oleh istrinya. Setelah batuk itu bukannya mereda, malah menggelegar bertubi-tubi membangunkan tidur nyenyak para tetangga, alih-alih pergi memeriksakan diri ke ahlinya, yakni dokter, ia malah membawa obat batuk kepercayaannya itu ke dukun langganannya agar dijampi-jampi. Setelah dijampi-jampi tidak juga mempan, malah membuat paru-parunya bocor dan ia mulai terbatuk-batuk memuntahkan percikan darah, alih-alih segera ke rumah sakit terdekat untuk memeriksakan diri ke dokter ahli paru-paru, misalnya, ia malah mencari ‘orang tua’ yang dianggapnya ampuh dan sakti di dusun tetangga karena percaya bahwa dirinya telah diguna-guna, sambil sebelumnya menggampar istrinya yang menyuruhnya itu segera pergi ke dokter saja. Sekali lagi, contoh ini memang sengaja dilebih-lebihkan agar terlihat dengan jelas kontras antara rasionalitas SKT dan rasionalisasi yang dilakukan oleh SKR dalam menghadapi kenyataan yang sama dan kasus obat batuk dapat diganti dengan kasus apa saja yang relevan.

Bentuk kepercayaan lain misalnya ialah kepercayaan kepada dokter dan para professional lain yang jasanya kita gunakan, kepercayaan (trust) terhadap berbagai lembaga pemerintahan, lembaga keuangan, rekan bisnis, karyawan, sekolah, guru, tetangga, dsb. Sama seperti dalam hal obat batuk kepercayaan keluarga, SKT akan memakai rasionalitas dan segala kemampuan lainnya yang ada padanya untuk menyelidiki apakah mereka memang layak untuk dipercaya dan patut untuk tetap dipercaya karena secara konsisten telah membuktikan bahwa mereka adalah tepercaya. Alih-alih mendasarkan penyelidikannya pada prasangka buruk dan rasa suka/tidak suka, para SKT akan senantiasa memakai kecerdasan terpadunya dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran dalam menghayati kehidupannya sehari-hari, dalam menempatkan kepercayaan mereka terhadap pihan yang benar-benar terbukti dapat dipercaya. Tentu saja kadar penyelidikan yang perlu dilakukan dan tingkat perhatian yang perlu dicurahkannya akan tergantung pada banyak hal yang berbeda dari kasus ke kasus, misalnya penting tidaknya jenis transaksi, mendesak atau tidaknya, besar kecilnya risiko yang terlibat dalam transaksi, pengalaman transaksi dengan pihak yang bersangkutan, derajat kelayakan dipercayanya subyek ybs., tingkat rasa percaya yang telah terbangun, dsb., dst. Sebaliknya, SKR dan sebagian SKRT akan melakukan banyak hal yang berkebalikan dari yang dilakukan oleh SKT dalam hal mengelola kepercayaannya. Bila SKT melakukan transaksi kehidupan ini dengan dasar kepercayaan minimum yang semakin lama semakin meningkat kadarnya beriringan dengan pengetahuan dan berbagai bukti yang diperolehnya, para SKR memulai dari tingkat kepercayaan 100% yang semakin lama semakin tergerus beriringan dengan berbagai kekecewaan dan penderitaan yang diperolehnya karena transaksi kehidupan tidak cermat yang lepas dari kesadarannya, dengan berbagai macam rasionalisasi atau dengan mencari-cari berbagai dalih yang tidak logis dan tidak masuk akal.

Kepercayaan terhadap merek obat batuk dan kepercayaan kepada para profesional yang kita pakai jasanya meskipun dalam beberapa hal sama dengan kepercayaan dalam agama yang sering disebut sebagai ‘keimanan’, kedua jenis kepercayaan ini memiliki hakikat makna yang berbeda. Iman dalam agama merupakan komitmen untuk melakukan rasionalisasi karena ia mencampurkan kesetiaan dan kepercayaan. SKR tidak semata-mata melakukan rasionalisasi dalam kehidupan beragamanya tetapi memang memilih untuk melakukan hal itu sebagai bagian dari komitmennya terhadap tradisi keagamaan yang tertuang dalam Kitab Suci dan berbagai Kitab rujukan sekunder lainnya. SKR merasa bertanggungjawab penuh kepada “Tuhan” dalam keimanan mereka secara eksplisit terlebih dulu dan menyatakan pembangkangan terhadap semua bukti yang menentang keimanannya karena faktor keterkondisian super-berat dan kemelekatan psikologis super-hebat serta rasa takut mencekam dalam kejiwaannya karena terancam hukuman mati jika menyatakan diri murtad atau dinyatakan murtad oleh teman seimannya, atau merasa sangat ngeri terjeblos dalam penderitaan abadi nyala api neraka, misalnya. Faktor kesetiaan dan komitmen inilah yang memisahkan kepercayaan dalam agama dan jenis kepercayaan lainnya, dan juga memisahkan SKR/SKRT dan SKT. Para SKR dan SKRT cenderung memakai rasionalisasi dalam kehidupan beragama dan kehidupan sehari-hari mereka, para SKT cenderung memakai rasionalitas dalam menjalani kehidupan beragama dan kehidupan sehari-hari mereka. SKT berusaha menemukan kebenaran atau kenyataan yang dimaksudkan dalam keimanannya dengan rasionalitas dan segala kemampuan lain yang ada dalam dirinya, sedangkan SKR dan SKRT berusaha menebalkan iman mereka dengan berbagai rasionalisasi dan pembenaran.

Para SKT akan memerlakukan kepercayaan agamanya sebagai tantangan untuk selalu menilai secara kritis kecenderungan dirinya untuk merasionalisasi keimanannya karena ia telah membuktikan manfaat dalam menghayati kehidupan sehari-hari dengan memakai rasionalitas dan segala kemampuan lain yang dimilikinya secara alami. Iman yang teruji telah memberinya beberapa kebaikan dalam hidup yang dirasakannya sendiri dan ia pun melihat dan merasakan kebahagiaan dalam keluarganya karena melaksanakan keimanan teruji yang bermutu sama. Bagaimanapun juga, ia tetap menyadari bahwa imannya itu mesti senantiasa diselidiki sampai ia menemukan kebenaran yang ditunjukkan dalam Kitab Sucinya. Bagian iman yang telah ditemukan kebenarannya akan bertiwikrama menjadi pengetahuan sejati yang dengan sendirinya akan disebarkannya kepada teman seiman atau siapa saja yang mau mendengarkannya. Ia selalu mendakwahkan kebenaran dengan sarana rasionalitas sebagai kiprah suci dalam hidupnya, bukannya seperti yang dilakukan oleh para SKR dan sebagian SKRT, yang gemar mendakwahkan “kebenaran” anggapan yang diterimanya secara taklid buta, yang dianggapnya sebagai kebenaran mutlak, dengan selalu melakukan rasionalisasi sia-sia sampai akhir hayatnya. (Bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun