Mohon tunggu...
Ade Hermawan
Ade Hermawan Mohon Tunggu... Administrasi - Ora et Labora

An Ordinary Citizen of Indonesia, civil engineer, social-preneur, youth of the nation.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Nalar Galau Omnibus Law

6 Maret 2020   13:43 Diperbarui: 7 Maret 2020   08:07 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat untuk Demokrasi berdemonstrasi menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja di depan Gedung DPRD Kota Malang, Senin (24/2/2020).(KOMPAS.COM/ANDI HARTIK)

Tadinya saya percaya saja kalau RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka) ini tidak secelaka namanya sebagai sebuah langkah regulatif demi memacu pertumbuhan ekonomi yang stagnan di angka 5% sejak 2014. Tapi setelah mencermati artikel ‘Sesat Pikir Omnibus Law’ yang ditulis Faisal Basri, seorang ekonom dari UI, saya jadi ragu: tidakkah Omnibus Law Cilaka ini bisa bikin Indonesia celaka?

Saya lalu melanjutkan berselancar di Youtube, menonton channel mana saja yang merekam dialog mengenai RUU Cilaka (belakangan diubah menjadi RUU Cipta Kerja/Ciker), terutama yang menghadirkan wakil istana sebagai narasumber, dan yang terjadi selanjutnya: kerguan saya kian menebal.

Keterangan yang disampaikan hanya lip service sebab tidak sesuai fakta. Misalnya penyampaian Arif Budimanta, Staff Khusus Presiden bidang ekonomi, dalam salah satu dialog mengungkapkan pesan presiden untuk melibatkan semua stakeholder dalam menyusun draft, langsung dibantah oleh perwakilan serikat buruh yang mengaku tidak pernah diundang sama sekali, dan tiba-tiba draft RUU sudah jadi.

Jadi apakah satgas Omnibus Law itu tidak menghormati pesan presiden—dengan tidak melibatkan serikat buruh? Arif Budimanta seketika bingung saat disodorkan fakta yang tak sesuai dengan apa yang dianjurkan presiden sebagaimana yang diakuinya sendiri: libatkan semua pihak termasuk serikat pekerja.

Faktanya komposisi satgas yang berjumlah 127 orang itu diisi oleh beberapa akademisi saja, politisi, dan didominasi pengusaha. Tidak ada wakil serikat pekerja.

Yang paling lucu tentu soal pasal 170 yang memungkinkan mengubah UU itu dengan Peraturan Presiden. Semua orang hukum juga tahu kalau ini kekacauan. Supaya tidak menjadi lelucon di mata para ahli hukum tata negara, ya sudah, anggap saja salah ketik. Apologi.

Satgas yang diisi berbagai praktisi dan intelektual itu—honornya mahal pula— gagal mengawasi hasil kerja notulennya sendiri. Atau jangan-jangan mereka yang gagal paham? Atau yang menyusun formasi satgas ini yang lagi main-main?

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (dok. Pribadi)
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (dok. Pribadi)
Faisal Basri sendiri, baik pada artikelnya pun di forum-forum diskusi, membantah semua asumsi ekonomi yang diajukan menjadi landasan RUU ini, beliau meringkasnya dengan istilah ‘sesat pikir’.

Misalnya persoalan buruh yang dituduh tidak cukup produktif dan gemar demonstrasi kontan dibantah Faisal dengan menyajikan data soal keluhan investor, terutama asing, dalam berinvestasi di Indonesia. Mereka menempatkan problem korupsi di urutan teratas pada daftar keluhannya, inefisiensi birokrasi pada urutan kedua, dan problem tenaga kerja baru ada di urutan kesekian.

Jadi kalau investor asing memang menjadi tamu yang paling diharapkan kedatangannya oleh pemerintah, mengapa justru bukan KPK yang diperkuat? Mengapa melodrama semacam Jiwasraya, Asabri, dan Harun Masiku dibiarkan tayang berseri-seri menyaingi Tersanjung atau Tukang Bubur Naik Haji?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun