Mohon tunggu...
Alpaprana
Alpaprana Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Jika arwah sang penyair, dan setumpuk kesedihan pecinta sastra mengalir di urat nadi, maka ijinkanlah aku mencumbui setiap mata yang membaca rangkaian kalam rahsa alpaprana (aksara biasa), sampai terbenamnya bahasa penaku di keabadian sulbi makhluk berkulit tanah, sebelum tiupan sangkakala memanggil, menyentuh udara kiamat, hingga membangunkan seisi jagad raya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kidung Kama-lara

23 Mei 2016   21:25 Diperbarui: 23 Mei 2016   21:31 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Garis lengkung sinar nirmala mengurai tanya

oh dewi asmara

cermin kabut nirwana kau bingkai di relung jiwa

kuncup bunga kenanga dikecup sang perasa

seraut wajah kekasih terlukis fana

dekap kama di kebasahan malam air mata

tertunduk dalam dilema

 

Kidungku menggelora

senada lara makhluk tierra bersuara

runtuh gelap langit mengubur asa

isak tangis terpahat pada aksara biasa

pena pun tinta berdarah

hening abadi terjamah

detik pasir waktu enyah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun