Mohon tunggu...
NANDA YOGA ROHMANA
NANDA YOGA ROHMANA Mohon Tunggu... Dosen - JAKSA PENUNTUT UMUM

CATATAN SEORANG JAKSA

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Penerapan Justice Collabolator dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi

14 Desember 2019   08:47 Diperbarui: 14 Desember 2019   08:55 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nanda Yoga Rohmana, S.H.,M.H (nandarohmana7@gmail.com/IG: al_nanda_yoga)

1e. Barang siapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu

2e. Barang siapa dengan sengaja memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.

Dengan demikian, syarat-syarat dalam doktrin untuk dapat dikatakan sebagai membantu melakukan yaitu pertama, pembantuan pada saat dilakukan kejahatan, kedua, pembantuan untuk melakukan kejahatan yang artinya memberikan kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Ketiga, orang yang membantu melakukan melakukan peranan yang tidak penting, keempat, meskipun yang dilakukan bukan perbuatan penyelesaian (voltooingshandeling), namun jika kerjasama antara pelaku adalah sangat erat, maka orang yang demikian itu lalu dipandang sebagai pelaku dan bukan sebagai pembantu[1], artinya untuk syarat keempat ini harus dibuktikan keterkaitan erat/tidaknya peranan pelaku untuk penyelesaian tindak pidana tersebut, dan syarat kelima inisiatif harus datang dari orang yang diberi bantuan berupa kesempatan, sarana atau keterangan, jika niatnya timbul dari orang yang memberi bantuan sendiri, maka orang tersebut bukanlah membantu melakukan, namun membujuk melakukan (Pasal 55 KUHP).

Dalam tindak pidana korupsi untuk menerapkan pembantuan tersebut sangatlah kasuistis dan harus dilihat kasus per kasus.  

Adanya keterangan saksi dengan keterangan tersangka saat ia menjadi tersangkamemunculkan perbedaan terhadap peran Justice Collaborator dengan Crown Witness atau Saksi Mahkota (kroongetuide). Dalam praktiknya, sering terjadi ambiguitas terkait dengan peran Jusctice Collaborator dengan Crown Witness atau Saksi Mahkota (kroongetuide), yang sebenarnya terdapat perbedaan signifikan mengenai kedua peran tersebut.

Peranan Crown Witness atau Saksi Mahkota (kroongetuide) dalam perkara tindak pidana korupsi memungkinkan seseorang yang menjadi tersangka atau terdakwa memberikan kesaksian terhadap tersangka atau terdakwa yang  berkas  pemeriksaan  perkaranya  dipisahkan  (splitzing)  antara  seorang terdakwa dengan  terdakwa yang lain, dimana para terdakwa melakukan perbuatan secara bersama-sama namun karena sulitnya mendapatkan alat bukti, maka seseorang dimungkinkan dapat menjadi saksi untuk perkara tersangka atau terdakwa yang lain.

Menurut Loebby Loqman, saksi mahkota adalah kesaksian sesama terdakwa, yang biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan (deelneming) yang nilai kesaksiannya sama dengan keterangan saksi dalam KUHAP[2], sedangkan Jusctice Collaborator menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu merupakan tersangka atau terdakwa yang mengakui kejahatan dilakukannya, yang bukan merupakan pelaku utama dalam kejahatan tersebut, serta memberikan keterangan sebagai  saksi  di  dalam  proses peradilan.

Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) dan menjadi  saksi  pelaku  yang  bekerjasama memiliki keinginan untuk mengungkapkan kejahatan dan bersedia untuk bekerja-sama dengan aparat penegak hukum berdasarkan beberapa persyaratan dan kualifikasi tertentu, yang penetapannya ditetapkan melalui ekspose/petunjuk pimpinan dan diterbitkan dalam bentuk surat penetapan yang ditandatangani oleh Pimpinan.

Selain itu, perbedaan yang signifikan antara peran Justice Collaborator dengan Crown Witness atau Saksi Mahkota (kroongetuide),dapat dilihat dari kehendak dari pelaku untuk bekerjasama tanpa adanya paksaan dari aparat penegak hukum, serta adanya persyaratan dan kriteria tertentu yang harus dipenuhi apabila seseorang ingin menjadi Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator), sedangkan Crown Witness atau Saksi Mahkota (kroongetuide) merupakan saksi dimana terdakwa yang satu dijadikan saksi terhadap terdakwa lainnya terhadap suatu perkara pidana yang pada umumnya memiliki unsur adanya penyertaan (deelneming) dikarenakan tidak ada alat bukti yang lain, atau sangat minim, yang berguna untuk mempermudah pembuktian, dimana pemberian status seseorang menjadi Crown Witness atau Saksi Mahkota (kroongetuide) tidak didasarkan pada kehendak pelaku tindak pidana itu sendiri.

Penerapan Justice Collaborator sangat berguna bagi penegak hukum dalam rangka pengungkapan perkara dan membongkar/memberikan bukti untuk menyeret pelaku utama tindak pidana korupsi yang sulit untuk dibuktikan, dalam hal ini problematika kedudukan Justice Collaborator yang belum diatur secara tegas mengenai perlindungan haknya dalam ketentuan peraturan perundang-undangan berimplikasi pada bargaining position bagi Justice Collaborator terkait dengan keinginannya untuk dapat bekerjasama dalam mengungkapkan perkara dan menyeret pelaku utama tindak pidana korupsi dan adanya kekhawatiran bahwa pidana yang dijatuhkan untuk Justice Collaborator tidak menjadi pertimbangan yang meringankan bagi Hakim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun