Mohon tunggu...
Almunauwar Bin Rusli
Almunauwar Bin Rusli Mohon Tunggu... -

Almunauwar Bin Rusli lahir di Kotamobagu 18 Februari 1994. Saat ini berstatus sebagai Mahasiswa Pascasarjana UII Yogyakarta Bidang Studi Islam Konsentrasi Pendidikan Islam. Almunauwar Bin Rusli tinggal di Perumahan Griya Tugu Mapanget Blok B2 Nomor 18 Manado, Sulawesi Utara. Kontak : 082292011859

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekolah & Merdeka

30 Agustus 2015   13:04 Diperbarui: 8 September 2015   19:43 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

     “Manusia yang tidak mengetahui kejadian-kejadian sebelum dia lahir, maka selamanya dia adalah anak kecil.” Ucap Cicero. Kira-kira, begitulah kutipan menarik yang saya temukan dalam bagian awal buku karangan Hasanuddin dan Basri Amin berjudul “Gorontalo : Dalam Dinamika Sejarah Masa Kolonial” waktu saya berkunjung ke Kota Serambi Madinah bulan Mei 2015 untuk kepentingan riset. Secara bahasa, apa yang disinggung oleh Cicero di atas tentu sangat mudah untuk kita pahami apalagi dikaitkan dengan momentum kemerdekaan Indonesia yang ke-70 tahun ini. Bangsa yang besar adalah dimana masyarakatnya dapat mengenal sejarah mereka juga menghargai sekaligus meneladani jasa-jasa para pahlawannya. Baik dalam tingkatan, lokal maupun nasional. Apa yang dinamakan merdeka sekarang sudah barang tentu tidak akan terlepas dari berbagai proses perjalanan, perjuangan, juga perenungan yang begitu dalam. Kalau mau dibuat sebuah tahap periodesisasi, maka awalnya Indonesia dipersatukan secara geografis, lalu ditertibkan secara administratif dan terakhir dimerdekakan secara politis termasuk aspek pendidikan, ekonomi, sosial, bahasa, budaya, serta agama yang berperan penting untuk sebuah peradaban.

     Sejarah membuka mata kita bahwa nikmat kemerdekaan jelas tidak akan dirasakan oleh masyarakat sekarang jika para tokoh-tokoh bangsa dahulu tidak memiliki kesadaran juga kemauan yang keras untuk bersekolah. Apapun resikonya. Karena cukup jelas, mereka yang tidak bersekolah hanyalah menjadi budak oleh penjajah kala itu. Budak-budak ini pun bukan dalam jumlah sedikit melainkan dalam jumlah yang banyak karena anak-istri ikut terlibat. Di satu sisi memang benar, ketika memasuki tahun 1900-an, sekolah-sekolah di Indonesia cenderung dikuasai oleh Belanda dan hanya anak-anak dari keluarga besar yang boleh masuk bersama mereka. Diantaranya Agus Salim, Syahrir dan Mohammad Hatta. Tapi, sebetulnya ini tidak lantas melunturkan semangat masyarakat pribumi lainnya untuk meninggalkan bangku sekolah dengan alasan ekonomi juga minimnya referensi. Sebab sekali lagi, rendahnya kualitas pendidikan suatu tatanan masyarakat akan berakibat pada buruknya kemampuan berpikir dan berkembang. Bayangkan, seandainya Soekarno dan kawan-kawan yang menjadi tiang penopang republik ini malas bersekolah dalam artian belajar bersungguh-sungguh pada konteks ruang dan waktu tak terbatas, maka sangat mustahil kemerdekaan ini akan terwujud. Hal ini juga telah dicontohkan oleh perjuangan Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat, Cut Nyak Dien di Aceh, juga Pangeran Diponegoro di Jawa. Mereka semua bernalar tajam. Walaupun di sisi lain, mereka juga terjebak pada perilaku negosiasi yang salah. Akibatnya, mereka kalah sekaligus diasingkan. Ini menjadi pembelajaran sendiri untuk generasi muda. Jangan mudah menaruh kepercayaan sebelum selesai sebuah pekerjaan.

    Selanjutnya, saking pentingnya peran pendidikan untuk sebuah kemerdekaan, Snouck Hurgronje, seorang antropolog dari Belanda menaruh perhatian serius terhadap bidang ini pada konteks sekolah-sekolah agama. Dalam risetnya pada jangka waktu yang cukup lama di Indonesia, Snouck berkesimpulan bahwa yang membuat misalnya Aceh sulit untuk dijatuhkan bukanlah sebuah kebetulan akan tetapi karena mereka memperkuat basis sekolahnya di pesantren bahkan ada yang sampai ke Mekkah. Ketika mereka pulang kembali ke Indonesia, mereka mulai menyebarkan spirit perlawanan dengan doktrin agama yang kental serta rasional berdasarkan tuntutan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh sebab itu, banyak rakyat Aceh yang tercerahkan pemikirannya lalu berbalik badan mengusir Belanda. Hasil riset Snouck ini mengakibatkan pada tahun 1664, Belanda melarang tiga orang Bugis yang baru pulang menunaikan ibadah haji di Mekkah untuk mendarat dan membuang mereka ke Tanjung Harapan. Belanda mengemukakan dalih bahwa kedatangan mereka di tengah-tengah orang Islam yang sangat menghormati orang-orang yang sudah naik haji-termasuk sekolah di sana- dikhawatirkan akan menimbulkan kerusuhan. Tahun 1810 Gubernur Deendels mengeluarkan dektrit yang memerintahkan agar para Kyai yang melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain wajib membawa paspor. Peraturan ini sengaja dibuat untuk mengawasi pergerakan mereka (Zamakhsyari Dhofier, 2011 : 18-19).

     Dari kenyataan ini, jelas rakyat Aceh telah berhasil melakukan sebuah analisa empiris-akibat proses bersekolah- bahwa selama ini Belanda telah mengubah dasar struktur organisasi kemasyarakatan orang Indonesia termasuk sektor ekonomi dan politik. Mereka juga terus melancarkan langkah-langkah pembatasan gerak dan pengawasan yang ketat terhadap pemimpin-pemimpin Islam yang dikhawatirkan akan membahayakan kekuasaan Belanda. Raffles mengakui bahwa setiap Kyai (pengajar agama di sekolah) di Indonesia oleh penduduk dianggap sebagai orang suci dan memiliki kekuatan gaib. Karena ketinggian kehormatan yang dimiliki oleh para Kyai itu, dengan mudah mereka dapat membangkitkan gerakan pemberontakan dan bilamana para Kyai ini bekerjasama dengan para pemimpin rakyat yang menentang Belanda, maka kerjasama tersebut akan sangat membahayakan Belanda. Pengalaman Raffles menunjukkan bahwa para Kyai ini ternyata aktif dalam berbagai pemberontakan menuju kemerdekaan. (Zamakhsyari Dhofier,2011:19).Mengkaji sejarah kemerdekaan Indonesia dari aspek pendidikan (sekolah) memang tidaklah bisa dinafikan, sekolah menjadi semacam rumah pengetahuan sekaligus perumusan ideologi pergerakan demi bangkit dari sebuah keterpurukan intelektual, emosional, spiritual maupun kultural. Sejarah tentu telah berlalu dan refleksi atas masa silam tentu harus diikuti dengan capaian-capaian progresif ke depan. Lalu apa yang bisa kita lakukan? Tidak ada lain adalah mengembangkan ilmu pengetahuan dan pekerti yang memberi manfaat kebahagiaan dan kesejahteraan bagi sesama makhluk tanpa membeda-bedakannya. HOS Cokroaminoto menyebutkan, di sinilah akan terbentuk setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, dan sepintar-pintar siasat.

     Mengembangkan ilmu pengetahuan adalah semestinya. Sebab, dimana kita sekolah, di situlah kita merdeka. Kemerdekaan jelas kita peroleh dari tradisi pembelajaran sedangkan belajar itu sendiri berarti proses perubahan pada diri seseorang. Perubahan itu terjadi karena pengalaman. Pengalaman secara filosofis adalah persentuhan indera seseorang dengan lingkungannya. Lingkungan tiada lain adalah sesuatu di luar diri seseorang. Titik temu antara konteks persekolahan dan konteks kemerdekaan berdasarkan potret sejarah di atas ialah (a) Tujuan belajar. Kita harus menentukan sendiri apa yang ingin kita pahami, terapkan, praktekkan, atau hindari. Belajar tidak hanya sekedar mempertahankan suatu kondisi yang biasa berlaku tapi juga belajar mendalami sesuatu secara sungguh-sungguh sehingga mampu menemukan teori, metode, dan menciptakan hal baru. (b) Nilai dan Norma. belajar adalah mengambil keputusan atas pengetahuan berdasarkan aturan yang berlaku pada konteks kehidupan masing-masing. (c) Belajar Menemukan. Belajar tidak sebatas mengetahui apa, siapa, dimana, dan kapan tetapi lebih dari itu hingga akan ditemukan kesimpulan yang berpijak pada asas rasional, operasional juga terukur. (d) Intisari hidup. Belajar adalah intisari hidup. Bila tidak belajar, kita tidak berubah. Bila tidak berubah, kita akan mati. Mati bukan artian kehilangan nyawa melainkan hilangnya daya saing dan posisi tawar di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. (e) Trial and error. Belajar adalah soal mencoba. Ketika gagal, maka kita akan menemukan pola-pola baru menuju kesuksesan. Di sini sangat dibutuhkan pola pikir integratif-interkonektif juga inklusif-continous improvement.

     Kelima titik temu ini adalah spirit terbesar dari peran pendidikan (sekolah) di masa kolonial dulu agar bisa bangkit melawan karena diam adalah pengkhianatan. Dalam pidato kebudayaannya Hasto Kristiyanto yang saya ikuti di Universitas Gadjah Mada 15 Juni 2015 lalu, dengan lantang beliau mengatakan bahwa “Syarat dasar daripada Indonesia merdeka telah dirumuskan dengan baik oleh para pendiri bangsa dalam sidang BPUPKI. Indonesia berdiri atas paham kolektivitas dengan semangat gotong royong. Seluruh konsepsi paripurna tentang Indonesia merdeka adalah Indonesia yang bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu harus menjadi titik tolak dalam membangun Indonesia kembali. Indonesia harus menempatkan Pancasila sebagai dasar sekaligus tujuan. Namun juga sebagai the way of life di dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara. Pada tahun 1957 Bung Karno menegaskan para pemimpin, seluruh kaum mudanya, dan pergerakan rakyat Indonesia harus merombak cara berpikir, cara kerja, cara berjuang, dan cara hidup dengan mendorong gerakan hidup baru. Suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, dan berjiwa api yang menyala-nyala”. Sudahkah kita bertindak seperti itu? Kalau belum, segeralah berubah. Sebab, momentum kemerdekaan tahun ini bukanlah hanya bentuk narsisme seremonial semata namun sebagai upaya konkret menjadikan kita bangsa yang berkemajuan juga berkepribadian.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun